Oleh Moch Eksan
Semua pasti sepakat Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto tak ujug-ujug jadi Presiden Indonesia ke-8. Ia melalui perjuangan yang sangat keras dan panjang sebagai tentara punya visi demokrasi. Kendati jalur militer terbuka untuk tampil sebagai presiden pasca Presiden Soeharto lengser keprabon, ia memilih jalan demokrasi melalui pemilihan presiden secara langsung.
Tak kurang dari 20 tahun, Prabowo mengarungi jalan demokrasi dengan segala dinamikanya. Mulai dari ikut Konvensi Calon Presiden Partai Golkar pada 2004, menjadi calon wakil presiden dari Megawati Soekarno Putri pada 2009, maju sebagai calon presiden bersama dengan Hatta Rajasa pada 2014, sampai bertarung kembali dengan Presiden Jokowi bersama Sandiaga Solahuddin Uno sebagai calon wakil presiden pada 2019.
Di empat momentum pilpres tersebut, nasib Prabowo tak beruntung. Pada 2004 dia kalah dalam konvensi. Partai Golkar mengusung Jenderal (Purn) TNI Wiranto bersama KH Ir Sholahuddin Wahid. Sedangkan, pada 2009, 2014 dan 2019, ia kalah atas Jenderal (Purn) Bambang Susilo Yudhoyono-Prof Dr Budiono, MA, dan kalah atas Presiden Jokowi-JK serta Jokowi-Amien.
Berbagai kekalahan di berbagai momentum elektoral, tak membuat Prabowo jera untuk bertarung. Justru spirit pertarungan semakin menguat pada pilpres terakhir. Lawan-lawannya di militer dan politik malahan berbalik memberi dukungan menjadi orang nomor satu di Republik ini.
Presiden Jokowi yang mengalahkan pada dua pilpres justru menggandengkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka dengan Prabowo. Para Dewan Kehormatan TNI yang menjatuhkan sanksi pemecatan dengan tak terhormat juga menyokong Prabowo untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional.
Pilpres 2024 benar-benar milik Prabowo yang piawai memutar balikkan keadaan dari lawan menjadi kawan. Seluruh pemilih di berbagai pelosok Tanah Air disapu bersih oleh badai gemoy. Kemenangannya telah menghapus segala dosa politiknya dalam kasus penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Jadi, nama baik, harkat dan martabat Prabowo yang rusak lantaran transisi politik Orde Baru ke Orde Reformasi. Tetapi, transisi politik pulalah yang pada akhirnya memulihkan nama baik, harkat dan martabat tersebut sebagai seorang pemimpin yang disiapkan sejarah bagi kemajuan Indonesia.
Puncaknya, Prabowo memenangkan pertarungan dengan gemilang. Kisah suksesnya menjadi pemenang pilpres tak lepas dari darah raja dan satria dalam tubuhnya yang menjadi energi yang tak pernah habis membakar semangat dan perjuangnya untuk melanjutkan supremasi trah Majapahit dan Kesultanan Islam Mataram.
Prabowo itu ternyata masih anak keturunan Sultan Agung yang ke-11 dari jalur perempuan. Bila dirunut, Prabowo bin Soemitro Djojohadikusumo bin Raden Mas Margono Djojohadikusumo bin Tumenggung Mangkuprojo yang menikah dengan Raden Ajeng Djojo Atmojo binti Tumenggung Djojohadiningrat bin Bindoro Pangeran Haryo Murdaningrat bin Sri Sultan Hamengkobuwono II bin Sri Sultan Hamengkobuwono I bin Prabo Amangkurat IV bin Susuhunan Pakubowono I bin Susuhanan Prabo Amangkurat Agung bin Sultan Agung.
Dari silsilah di atas menunjukkan, bahwa memang darah sultan ada dalam tubuh Prabowo. Ia punya tali persaudaraan dengan raja-raja di Kesultanan Islam Mataram. Suatu kerajaan yang tetap eksis sampai sekarang dan oleh pemerintah ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sultan Agung merupakan kakek buyut ke-11 Prabowo dari jalur perempuan ke atas. Seorang raja Jawa Islam yang berani menyerang Batavia di bawah kekuasaan kerajaan Hindia Belanda dua kali. Yaitu serangan pada 1628 yang dipimpin Dipati Ukur dan serangan pada 1629 yang dipimpin Adipati Juminah.
Ada 14 ribu pasukan yang digerakkan untuk mengusir penjajah Belanda dan memperkuat pengaruh Kesultanan Mataram di ujung Barat Jawa. Sayang, pasukan Mataram terlalu lemah karena kekurangan logistik dan merebaknya wabah penyakit malaria dan kolera. Namun, para laskar Mataram berhasil mencemari Sungai Ciliwung yang menyebabkan wabah penyakit kolera di Batavia merebak. Gubernur Jenderal Belanda JP Coen meninggal dunia lantaran wabah penyakit ini.
Sekelumit peristiwa heroik dari leluhur Prabowo tersebut di atas, untuk memotret peran dan kiprahnya dalam landscap politik dan militer Indonesia pasca kontemporer. Dimana, ia meneruskan perjuangan para raja Mataram dalam memimpin negeri.
Wahyu keprabon Prabowo bukan diperoleh melalui sistem monarkhi yang turun temurun, akan tetapi harus berjuang keras melalui pemilu demokratis dalam sistem republik. Capaian karier kepemimpinannya melampaui para leluhur sedari Sultan Agung sampai sekarang.
Mengapa demikian, Republik Indonesia yang dipimpin Prabowo dari segi geografis dan demografis lebih luas dan lebih besar. Beda halnya dengan wilayah Kesultanan Islam Mataram yang menguasai sebagian Pulau Jawa dan jumlah penduduk yang belum sebesar sekarang yang sudah tembus 287 juta jiwa.
Apakah Prabowo bisa menjadi legenda layaknya para leluhurnya? Seperti Sultan Agung yang gagah berani mewariskan nilai patriotisme dan kepahlawanan? Sukses memboyong istana dari Kuta Gede ke lokasi sekarang? Berhasil melanjutkan pemindahan Ibu Kota Negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN)? Dan seterusnya.
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, bergantung realisasi visi, misi dan program Prabowo memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Waktu yang tersedia tak terlalu lama untuk menyulap negeri ini menjadi negara maju dalam segala bidang dan aspek kehidupan. Semoga!!!
Moch Eksan, Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku “Kerikil Di Balik Sepatu Anies”.