Indeks

Kisah Pengusaha Tempe Jember di Tengah Harga Kedelai yang Naik, Kurangi Ukuran Produksi

Comment2,121 views
  • Share

Jember, Kuasarakyat.com – Selama kurun waktu dua minggu terakhir, bahan baku kedelai impor mengalami kenaikan harga. Bahkan kenaikan harga itu, disebut terjadi sejak pemerintah menaikkan harga BBM.

“Dulu di tahun sebelum (pandemi) Covid, harga kedelai impor itu disekitaran Rp 6.800 per Kg. Tapi karena pandemi itu sempat naik di harga Rp 10 ribu. Kemudian mulai agak normal (kembali turun harga),” kata Miftahul Arifin, salah seorang pengusaha tempe di Jember

“Tapi kemudian dengan adanya kenaikan harga BBM, terutama dua minggu terakhir ini. Melonjak di harga Rp 14 ribu, yang sebelumnya Rp 13.850 per Kg,” sambungnya.

Harga bahan baku kedelai import itu, lanjut Arifin, dinilai meresahkan karena cukup mahal. Apalagi, katanya, kenaikan harga bahan baku kedelai impor terjadi dalam hitungan hari.

“Kondisi sekarang pun masih terus naik per harinya. Jadi hal ini meresahkan di level pengecer kecil,” katanya.

Sebagai langkah antisipasi dan solusi dengan kenaikan harga bahan baku kedelai impor itu, dirinya mengurangi ukuran produksi tempe.

“Dengan kondisi kenaikan harga bahan baku kedelai impor ini. Memang tidak serta merta harga tempe atau tahu (ikut) melonjak harganya. Jadi yang bisa dilakukan adalah mensiasati, mengurangi ukuran itu sebagai penyesuaian, atau juga satu timba kedelai itu kita kurangi takarannya,” ungkap Arifin.
Hal itu diakui Arifin, sebagai salah satu solusi untuk menyesuaikan usaha di bidang tempe dan tahu.

Arifin juga mengatakan alasan menggunakan bahan baku kedelai impor.

“Kenapa kami ambil kedelai impor? Pertama untuk kedelai lokal kan jarang. Dari informasi yang saya tahu, terkait kebutuhan kedelai impor ini di Indonesia kan sampai 3000 ton dari Amerika. Sedangkan petani kita (Indonesia) hanya mampu 300 ton. Jadi kebutuhan kurang,” ujarnya.

Selain itu juga karena kualitas dari bahan baku kedelai itu.

“Kami tidak ambil kedelai lokal. Sebenarnya untuk rasa dan kualitas (kedelai lokal) lebih enak daripada impor. Tapi kekurangannya, ketahanan dari tempe atau tahu jadi kurang. Kalah dengan impor. Jadi terpaksa pengusaha atau pengrajin seperti saya ambilnya kedelai impor itu,” sambungnya.

Dia berharap agar ada perhatian pemerintah terkait kebutuhan bahan baku kedelai ini.

“Misal dengan kondisi saat ini, kita menaikkan harga tempe atau tahu. Untuk di Jember juga susah. Karena kita tidak ada paguyuban antar pedagang. Beda dengan di daerah barat. Jadi jika mogok produksi, bisa kemudian dipertimbangkan kenaikan harga,” ulasnya.

“Untuk menormalkan kembali harga kedelai ini mungkin susah. Jadi yang bisa dilakukan, menurut saya mungkin bisa dengan koordinasi antar pengrajin/pengusaha kedelai di bawah Disperidag mungkin. Untuk sama-sama nanti kita bisa bicarakan pertimbangan menaikkan harga jual tempe/tahu. Apakah dibentuk komunitas/paguyuban, untuk dapatnya berkoordinasi jika ada permasalahan dan bisa mengambil sikap seperti apa,” jelas dia. (Gusti)

Writer: Gusti
Comment2,121 views
  • Share
Exit mobile version