Indeks

Perkawinan Anak Marak Jadi Penyebab Angkat Kematian Ibu dan Bayi

Comment951 views
  • Share

JEMBER, Kuasarakyat.com Perkawinan anak masih marak terjadi di Kabupaten Jember. Akibatnya, angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) cukup tinggi. Bahkan, angka perceraian dini juga mencapai ribuan.

Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Jember tahun 2020, dari 21.000 pernikahan, terdapat 5.000 pernikahan yang berujung pada perceraian.

Selain itu, terdapat sebanyak 1.246 warga Jember yang mengajukan dispensasi perkawinan. Yakni memohon dispendasi untuk melaksanakan pernikahan di bawah umur 19 tahun.

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana (DPA3KB) Jember Supri Handoko menjelaskan AKI dan AKB di Jember tinggi karena perwakinan anak masih terus dilakukan. Terutama di kawasan Jember utara.

Padahal, kata dia, pemerintah sudah mengatur standart usia minimal pernikahan. Idealnya, jika perempuan berusia minimal 21 tahun dan laki-laki berusia minimal 25 tahun. “Tapi banyawak warga masih belum memiliki kesadaran untuk mengikuti peraturan itu,” kata dia Senin (2/8/2021).

Usia yang belum matang membuat pengantin muda itu belum memahami cara membangun keluarga yang baik dan benar secara utuh. Akibatnya, ketika terjadi permasalahan kecil, berujung pada pertengkaran hingga bercerai

Sementara itu, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Prof. dr. Meiwita P Budiharsana menjelaskan perwakinan anak dilakukan pada remaja yang berumur 15-19 tahun memiliki dampak yang beragam.

“Dampak tak hanya pada fisik, tapi pada mental dan emosinal,” kata dia dalam webinar media fellowship yang diselenggarakan oleh Rutgers WPF Indonesia 2021. Seperti bayi juga terlahir cacat, kelahiran premature, komplikasi pasca kehamilan hingga depresi pasca melahirkan.

Bahkan, berat badan bayi yang lahir akan kurang dari normal, otomatis perkembangan otak juga kurang dari normal. Salah satu upaya untuk mencegah dampak itu adalah dengan meningkatkan akses layanan seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Menurut dia, faktor kemiskinan menjadi salah satu alasan anak perempuan dipaksa bekerja sebelum usia kerja, dan dipaksa menikah sebelum waktu usia menikah.

Selain itu, juga karena kehamilan yang tak diinginkan. Hal ini menjadi alasan yang efektif bagi orang tua atau pihak ketiga untuk memaksa KUA melegalisir perwakinan pernikahan.

Dia mencontohkan 80 persen dari 700 dispensasi yang dilakukan di Jogjakarta karena kehamilan. “Padahal kita tau, tidak semua karena kehamlan, tapi itu menjadi alasan efektif bagi petugas KUA,” ungkap dia.

Dia menilai penurunan perkawinan usia dini bisa diukur dengan cara melihat berapa dispensasi yang diberikan KUA karena alasan kehamilan. “jika ada perkawinan tinggi pada usia muda, berapa persen urusan di KUA yang surat menyuratnya tidak lengkap, artinya, anak itu belum 19 tahun,” papar dia.

Dia menegaskan dalam 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), perkawinan anak disebut harus dihapus, bukan lagi ditekan. Bahkan, pencegahan perwakinan anak juga sudah masuk dalam RPJMN 2020-2024 dengan target menurunkan prevalensi perkawinan anak menjadi 8,74 persen pada tahun 2024.

“Kalau kita bisa mencegah perkawinan anak, kita bisa mencegah kemiskinan,” tutur Prof Meiwita.

Bila perempuan dinikahkan ketika masih anak-anak, dia tidak bisa berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender, kesehatan dan pendidikan yang layak. “Bagaimana bisa berkontribusi, kerja tidak bisa karena pendidikanya nanggung, tidak punya skill,” papar dia.

Dia menilai perkawinan anak sejatinya membunuh bakat dan potensi mereka sebelum bisa mengembangkannya. Pulau Kalimantan dan Sulawesi menjadi daerah kejadian perkawinan anak yang lebih tinggi di tingkat nasional.

Sedangkan di pulau Jawa-Bali, angka perwakinan anak mencapai 19,26 persen. Artinya, satu dari lima anak perempuan yang berusia kurang dari 19 tahun sudah menikah. Padahal, belum fisik dan emosional belum matang, sudah menikah. (Bs)

Comment951 views
  • Share
Exit mobile version