JEMBER, Kuasarakyat.com – Kasus kekerasan seksual berbasis gender masih kerap terjadi di sejumlah daerah. Salah satu penyebabnya karena masalah hulu yang belum diatasi dengan baik. Yakni edukasi tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual.
“Yang terjadi di masyarakat itu sebagai hilir dari permasalahan kesehatan reproduksi yang di hulunya tidak pernah kita lakukan sosialisasi dan pendidikan maupun pencegahan,” kata Prof Siswanto Agus Wilopo, pakar dari Universitas Gadjah Mada dalam webinar Media briefing pertemuan Ilmiah keluarga berencana dan kesehatan reproduksi Sabtu (26/6/2021).
Untuk itu, kata dia, Pusat kesehatan reproduksi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM bersama Rutgers WPF Indonesia didukung anggota konsorsium menyelenggarakan pertemuan ilmiah dengan tema memperkuat kebijakan dan strategi implementasi program KB KR berdasarkan data kajian ilmiah.
Siswanto yang juga ketua panitia dan penanggungjawab kegiatan itu menjelaskan, kejadian kekerasan seksual terjadi karena beberapa sebab. Pertama, karena tidak disadari bahwa aspek itu sangat signifikan pada kehidupan.
“Misal kita melihat kasus melakukan pemerkosaan pada anak gadis secara bergiliran. Kalau anda tanya pada yang melakukan, dia sama sekali tidak tahu bahwa pemerkosaan itu memiliki dampak jangka panjang yanga sangat luar biasa,” jelas dia.
Selain itu, para pelaku tersebut juga tidak mengetahui arti kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi. Semua ini terjadi karena masalah kesehatan reproduksi masih dianggap tabu. Sehingga tidak ada keterbukaan.
“Akibatnya, tidak pernah ada diskusi yang mendalam tentang keseharan reproduksi di masyarakat,” papar dia. keterbukaan itu menjadi masalah besar untuk memahami aspek yang sesungguhnya.
Dia mencontohkan kasus yang terjadi di Jember, seorang pimpinan kampus mencoba mencium salah satu dosen. Perbuatan itu terjadi karena relasi kelas, yakni rektor yang berkuasa, sedang dosen dibawahnya.
“Ini banyak sekali terjadi karena paksaan posisi, yang memaksa ini tidak paham aspek kesetaraan gender,” terang dia.
Siswanto juga sempat menggelar diskusi dengan para pakar 11 dunia di Itali selama seminggu tentang kondisi kekerasan tersebut. Salah satunya, harus kembali pada hulu, yakni pendidikan tentang gender dan seksualitas harus dimulai sedini mungkin.
“UGM dan Rutgers mengembangkan pendidikan kesehatan reproduksi remaja pada SMP,” aku dia. bahkan beberapa pakar sudah mulai untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sejak masih SD.
Indonesia Belum Memiliki Kerangka Kebijakan Yang Kuat
Kepala Perwakilan Rutgers WPF Indonesia Amala Rahmah menambahkan kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Indonesia sendiri belum memiliki kerangka kebijakan yang kuat untu menangani semua masalah yang timbul dari kekerasan berbasis gender.
Di tingkat nasional, ada UU N0 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga, namun belum terlaksana secara maksimal. Akibatnya, belum bisa menghentikan kekerasan berbasis gender yang terus meningkat.
Selain itu, juga ada beberapa rancangan UU tentang kekerasan yang masih di tahan di parlemen. “Namun rancangan UU ini mendapat perlawanan yang kuat dari kelompok konservatif,” jelas dia.
Selain itu, ada juga undang-undang yang bermasalah, misalkan UU hukum pidana KUHP dan UU ITE yang mengunakan klausul pencemaran nama baik untuk mengorbankan perempuan yang mencari keadilan atas kasus kekerasan seksual.
”Jadi korban menjadi tersangka,”ujar dia.
Dia menjelaskan selain di level kebijakan, di level masyarakat juga bisa dilihat dari data selama 12 tahun terkahir, jumlah kasus yang dilaporkan atas kekerasan terhadap perempuan berlipat sebanyak 8 kali.
“Kalau kita amati, dari tahun 2008 ke 2019, ini belum termasuk masa covid yang jumlahnya meningkat,” ungkap dia.
Survey nasional menunjukkan satu dari tiga perempuan berusia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan oleh pasangan atau bukan pasangan mereka.
“ini sudah pola yang selalu perempuan dan anak yang menjadi korban,” ujar dia.
Namun, lanjut dia, angka kekerasan pada anak lelaki juga meningkat, belum lagi kekerasan dan diskriminasi kelompok minotaris disabilitas dan seksual. Angka ini tinggi dan menguap ketika duduk bersama dimeja negoisiasi untuk pemenuhan rasa aman terhadap kelompok minoritas ini.
“Di level kebijakan ada masalah, di level masyarakat juga ada masalah,” tambah dia.
Dia menilai kekerasan terjadi yang merupakan hilir dari sebuah masalah. Hulunya adalah persoalan sistemik yang belum terselesaikan. “Kalau kita lihat, masyarakat masih memandang kaum muda secara umum sebagai anggota masyarkaat yang kurang cakap,” imbuh dia.
Selain itu, juga memandang perempuan dan anak muda kurang mampu berpartisipasi di masyarakat. Misal penolakan terhadap pemimpin perempuan. Ada kelompok yang justru mengkampanyekan perempuan adalah sosok penurut dalam keluarga dan masyarakat.
“Praktik ini yang menyebabkan pernikahan anak, sunat perempuan, kekerasan pada perempuan,” jelas dia.
Padahal, kata Amala, sekitar 10 sampai 15 tahun lagi, anak muda akan mendominasi Indonesia. Mereka harus diberikan akses informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas. “80 persen data dari unicef, anak muda sekarang terhubung secara online,” tutur dia.
Namun, semakin tinggi memanfaatkan perangkat selular, 80 persen digunakan untuk hiburan, seperti mainan, game, musik dan lainnya. sementara untuk akses pengetahuan tidak dilakukan.
Selain itu, mereka juga melihat isu kekerasan perempuan itu merupakan isu individu. “Ini yang kami coba gerakkan bersama media agar menjadi gerakan sosial,” terang dia.
Rutgers WPF Indonesia menggelar media fellowship untuk mempertemukan jurnalis dengan peneliti dan anak muda. Sehingga bisa memberikan kontribusi menurunkan kasus kekerasan seksual yang selama ini kerap terjadi. (Bs)