Oleh Moch Eksan
Presiden Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto merupakan satu dari tiga presiden Indonesia yang berlatar militer. Pertama Presiden Jenderal TNI (Purn) Soeharto (1967-1998), kedua Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), kemudian ketiga Prabowo sendiri (2024-sekarang).
Kendati Soeharto dan SBY tentara, tak pernah mempersonifikasikan diri secara teori dan praktek sebagai wujud militery laedership (kepemimpinan militer). Beda halnya dengan Prabowo yang terang mengobsesi kepemimpinan militer berdasarkan pengalaman pribadi dan pembacaannya terhadap 94 tokoh dalam dan luar negeri.
Buku Kepemimpinan Militer : Catatan Dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, merupakan teorisasi studi multisiplin kepemimpinan ini. Suatu kajian mengenai kepemimpinan dalam konteks organisasi, prinsip dan praktek yang memandu pemimpin dalam militer.
Prinsip utama kepemimpinan militer adalah integritas, keberanian dan tak mementingkan diri sendiri. Sifat utama ini yang membantu pemimpin militer dipercaya dan dihormati oleh timnya.
Sebab, ketauladanan dan pengorbanan, para perwira militer menjadi pemimpin kharismatik yang mencintai dan dicintai rakyat. Mereka memimpin bangsa untuk mencapai pintu gebang kemerdekaan sejati. Yaitu kebebasan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, penindasan dan penderitaan.
Sebagai presiden yang meniti karier awal sebagai tentara, Prabowo pasti menyadari bahwa kepemimpinan militer yang ditawarkan adalah kepemimpinan nilai utama serdadu dalam ruang lingkup sistem demokrasi. Sehingga dengan teori ini tak bermaksud mengusulkan pemerintahan junta militer yang represif dan otoriter.
Apalagi pengalaman Prabowo telah terbukti dan teruji setia terhadap pilihan politik bangsa di atas jalan demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil.
Jabatan presiden yang diperoleh serta kabinet yang dibentuk membuktikan Prabowo tak menggunakan moncong senjata untuk berkuasa, dan menempatkan banyak tokoh sipil dalam jabatan strategis negara.
Dari 110 menteri dan wakil menteri dan kepala lembaga setingkat menteri, terdapat 12 orang yang berlatar tentara. Selebihnya, 98 orang adalah tokoh sipil.
Para tentara aktif dan purnawirawan yang memperkuat Kabinet Merah Putih meliputi: Agus Harimurti Yudhoyono, Teddy Indra Wijaya, Sugiono, Iftitah Sulaiman Suryanegara, Ossy Dermawan, Sjafrie Sjamsoeddin, Muhammad Herindra, AM Putranto, Lodewijk Freidrich Paulus, Donny Ermawan, dan Bambang Eko Suharyanto.
Dari uraian di atas, tampak jelas obsesi kepemimpinan militer lebih bermakna nilai dari organ. Nilai-nilai militer yang diadopsi dari pengalaman diri dan tokoh yang diidolakannya.
Manifestasi dari kepemimpinan militer adalah kepemimpinan Prabowo itu sendiri. Dimana para pembantunya mengikuti pembekalan ala militer di Lembah Tidar. Suatu kawasan yang menjadi basis perjuangan Pangeran Diponogero dalam melawan penjajah Belanda.
Kawasan itu menjadi saksi sejarah dari Prabowo muda mengembangkan visi kepemimpinannya. Tak kurang dari empat tahun ia digembleng di Akmil tersebut, setelah 10 tahun berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain.
Prabowo muda tercatat pernah tinggal di Singapura, Hongkong, Malaysia, Swiss dan Inggris. Di Britania Raya dan negara persemakmuran, ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya. Baru kemudian, setelah terjadi perubahan rezim penguasa di Indonesia, ia bersama keluarga Soemitro Djojohadikusumo pulang ke Tanah Air.
Dan, Prabowo muda memilih mengikuti jejak dua pamannya yang mati di medan pertempuran. Ia memilih masuk menjadi taruna daripada kuliah. Dua paman yang gugur menjadi kusuma bangsa itu Subianto dan Sujono Djojohadikusumo.
Dua saudara Soemitro itu menemui ajal pada saat pertempuran antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pasukan Jepang pada 25 Januari 1946, di Lengkong, Tanggerang Selatan, Banten.
Pada saat itu, TKR yang mengelola Akmil. Mayor Daan Mogot memimpin puluhan taruna mendatangi Markas Pasukan Jepang di Lengkong untuk melucuti senjata. Semula kegiatan ini berjalan damai, namun tiba-tiba terjadi pertempuran yang tak imbang antara dua pasukan. Ada 33 taruna dan 3 perwira tewas dari pasukan pimpinan Mayor asal Manado tersebut.
Peristiwa heroik di atas, tentu mengilhami Prabowo menjadi sosok patriotik yang cinta Tanah Air dan bela negara. Dua pamannya memberikan pelajaran nyata bagaimana berkorban demi kemerdekaan bangsa, sampai meregang nyawa di medan perang.
Walhasil, pembekalan para menteri di Akmil merupakan awal dari kepemimpinan militer yang digambarkan oleh Prabowo. Mereka diharapkan menjadi kabinet yang punya visi yang sama dan tim yang bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia Raya. Semoga!!!
Moch Eksan, Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku “Kerikil Dibalik Sepatu Anies”.
BACA JUGA :https://kuasarakyat.com/kabinet-prerogatif-antara-prabowo-dan-joe-biden/