Indonesia dikenal sebagai bangsa yang penuh dengan keragaman di pelbagai aspek kehidupannya. Dalam dunia pendidikan diversitas tersebut tidak bisa dihindarkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru yang terlibat—secara langsung atau tidak—dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal, nasional dan global. Diversitas budaya ini akan tercapai dalam pendidikan, jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam suatu proses pendidikan.
Realitas sosial terus berkembang dan berevolusi, khususnya di Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim. Selain itu, potensi kuat dalam hal kemajemukan menuntut adanya sebuah sistem dalam pendidikan Islam yang berbasis multikulturalisme agar dapat mengakomodasi potensi yang ada sebagai salah satu kekayaan bangsa. Oleh sebab itu, pendidikan Islam berbasis multikulturalisme menjadi penting sebagai tawaran solusi pemikiran guna meminimalisasi berbagai tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama, suku, ras, dan etnis, serta tindakan-tindakan radikal yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai agama, temasuk Islam.
Multikulturalisme merupakan istilah yang paling merepresentasikan gambaran tentang Indonesia. Tidak ada ungkapan yang paling tepat untuk memberikan deskripsi tentang kondisi realitas Indonesia selain dengan menyebutnya sebagai negara yang plural dalam maknanya yang sesungguhnya.
Farid Esack, seorang pemikir dan aktivis Islam kontemporer dari Afrika Utara, dalam bukunya Quran, Liberalism and Pluralism memberikan definisi tentang multikulturalisme. Menurutnya, multikulturalisme merupakan kondisi seseorang yang dapat menerima (penerimaan) dan mengakui (pengakuan) tentang keberlainan dan keragaman. Multikulturalisme melampaui toleransi atas keberlainan, sebab multikulturalisme hadir di dalam diri yang tulus dan dalam tindakan terhadap pihak lain yang berlainan.
Guru besar Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru menegaskan bahwa inti multikulturalisme adalah sebuah pandangan dunia yang pada akhirnya diimplementasikan dalam kebijakan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnis, gender, bahasa, dan agama.
Dalam Islam sendiri, multikulturalisme mendapat tempat yang jelas dan tak diragukan. Al-Qur’an mengakui dan menghormati multikulturalisme sebagaimana tertuang dalam ayat 13 Surat al-Hujurat, yang artinya: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dengan perspektif multikulturalisme, pendidikan Islam akan melahirkan rasa toleransi, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi terhadap manusia apa pun latar belakang mereka. Pendidikan Islam multikultural pada hakikatnya adalah pendidikan yang menempatkan multikulturalisme sebagai salah satu visi pendidikan dengan karakter utama yang bersifat inklusif, egaliter dan humanis, namun tetap kokoh pada nilai-nilai spiritual dan ketuhanan yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Model pendidikan Islam multikultural inilah yang ditekankan salah satunya oleh Abdurrahman Wahid dalam beberapa tulisannya yang tersebar di berbagai media.
Dalam hal pendidikan Islam, Abdurahman Wahid (Gus Dur) misalnya, dalam bukunya Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan memaparkan beberapa pendekatan atau strategi dalam membangun sistem pendidikan kemasyarakatan yang berbasis multikulturalisme.
Pertama, strategi politik. Salah satu metode pendidikan Islam dalam pandangan Gus Dur adalah pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Oleh sebab itu, pendidikan Islam harus memiliki metode yang dapat mengakomodasi seluruh kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.
Gus Dur memandang keberagaman harus mendapat perlindungan dan tak ada yang memiliki hak untuk menindas, apalagi meniadakan sesuatu karena alasan perbedaan. Para pemangku kebijakan—baik legislatif maupun eksekutif—dituntut untuk mampu menelorkan regulasi di bidang pendidikan yang mengakomodasi segenap keragaman di Indonesia.
Yang patut diapresiasi adalah lahirnya Undang Undang Pesantren yang meskipun pada awalnya memantik pro dan kontra dalam menyikapinya. Menurut Lukman Hakim Saifuddin (sewaktu menjabat Menteri Agama), RUU Pesantren bertujuan untuk memberikan dua hal kepada lembaga pesantren. Pertama, rekognisi atau pengakuan terhadap eksistensi pesantren yang telah memiliki andil besar dalam perkembangan sejarah bangsa dan negara. Kedua, memfasilitasi kontinuitas serta pengembangan pondok-pondok pesantren. Terkait hal terakhir ini, negara tidak akan mengatur atau mewajibkan sesuatu terkait dengan hal-hal yang menjadi otonomi pesantren, misalnya penentuan struktur.
Kedua, strategi kultural. Strategi ini dirancang bagi pembangunan kepribadian orang-orang Islam, yakni dengan cara memperluas pengetahuan mereka. Artinya, umat Islam harus mampu bersaing dengan dunia luar dengan tidak hanya berfokus pada “literatur klasik” mereka. Umat Islam harus membuka diri dengan ideologi-ideologi dan wacana aktual yang mengemuka dan up to date, termasuk pemikiran Barat dengan tujuan memberdayakan umat Islam agar mudah dalam mengakses beragam pengetahuan dan informasi.
Pondok pesantren, misalnya dalam penilaian Gus Dur merupakan “lembaga kultural” yang menggunakan simbol-simbol budaya, “agen pembaruan” yang memperkenalkan gagasan pembangunan desa (rural development), pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning), dan sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi atau referensi (maraji’) yang unik.
Di era kekinian, seorang santri dituntut tidak hanya mampu dan mumpuni di bidang penguasaan kitab-kitab kuning atau klasik (al-turats al-qadim), tapi mereka juga harus menguasai sains dan teknologi. Ini merupakan salah satu ciri khas santri di era milenial. Santri milenial adalah santri yang mampu mengadaptasikan keduanya, nilai-nilai tradisi pesantren dan modernitas yang dicirikan dengan pesatnya perkembangan sains yang ditandai dengan massifnya berbagai informasi—baik ekonomi, budaya, sosial politik dan
Ketiga, strategi sosio-kultural. Strategi ini dirancang untuk mengembangkan kerangka berpikir masyarakat dengan mempertahankan nilai-nilai Islam. Lembaga yang dihasilkan dari proses-proses ini bukan lembaga-lembaga eksklusif Islam, melainkan “lembaga umum” yang dapat diterima oleh beragam kalangan masyarakat. Dengan ungkapan lain, kerangka yang dibangun oleh umat Islam mesti berhubungan dengan lembaga-lembaga yang dibangun oleh orang lain dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.
Strategi sosio-kultural menjadi salah satu cara menyatukan rakyat dalam beragam versi perbedaan, baik pada tataran suku, budaya etnis, ras, keyakinan atau agama, dan pemikiran ke dalam satu unsur yang utuh. Dengan tetap bersemboyan pada “Bhinneka Tunggal Ika”, kita mesti menjaga keseimbangan antara ideologi negara dengan nilai-nilai Islam yang menjadi keyakinan dari sebagian masyarakat Indonesia. Dari keragaman corak budaya, suku, etnis, dan keyakinan tersebut, masyarakat yang majemuk ini mampu menyatu dalam satu kepentingan, yakni kepentingan dan sikap nasionalisme sebagai suatu pokok menjadi warga negara yang baik dan santun.
Dengan melihat keragaman pendidikan Islam tersebut, Gus Dur berupaya menyadarkan dunia pendidikan bahwa tidak ada satu otoritas pun yang dapat memaksakan penyeragaman, sehingga dalam pendidikan tidak diperkenankan penekanan pada satu perspektif saja, apalagi yang bersifat tunggal dan berupa penafsiran resmi dari pihak sekolah atau pesantren.
Hal demikian, harus dihindari karena penyeragaman justru akan membawa pada sikap sektarian dan eksklusif. Selain itu, pendidikan yang seragam (etatism) sangat tidak sesuai dengan semangat demokrasi, keterbukaan, dan kesetaraan. Karenanya, para intelektual dan tenaga pendidik, dalam pandangan Gus Dur, dituntut untuk menggunakan pola pendekatan yang beragam dengan meminimalisir dan menghindari pola tekanan (preasure) terhadap peserta didik dalam bentuk penyeragaman pola pikir, gagasan dan pendapat.
Selama ini, model pembelajaran mainstream dalam sistem pendidikan kita adalah berporos atau terlalu terpusat pada dominannya peran dari tenaga pendidik atau dikenal dengan istilah teacher centered learning (TCL). Karena terpusat pada tenaga pendidik, maka peserta didik menjadi obyek yang pasif dan bukan subyek yang aktif. Akibatnya, peserta didik menjadi minim, bahkan miskin ide dan gagasan yang cerdas dan mencerahkan. Oleh karena itu dibutuhkan pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam model pembelajaran—baik dalam pendidikan formal maupun non-formal—yang menekankan peran aktif peserta didik. Model pembelajaran ini dikenal dengan istilah student centered learning (SCL).
Walhasil dengan model pembelajaran yang terakhir—SCL—inilah, kita akan lebih arif dan bijak dalam memaknai dan memahami bahwa Indonesia memang penuh dengan keragaman dan kebinekaan.
MOH NUR FAUZI S.H.I., M.H.
Dosen Pemikiran Pendidikan Islam
Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi
dan Pegiat Literasi Darussalam