Moralitas Publik yang Rentan, Korupsi dan Upaya Preventifnya

Comment1,048 views
  • Share

[dropcap]D[/dropcap]i tengah himpitan ekonomi di masa pandemi masyarakat Indonesia dihadapkan pada realitas sosial kebangsaan yang tidak mengenakkan. Dari kasus tindak kriminal di era digital, kekerasan dan pelecehan seksual, bencana alam hingga maraknya kasus korupsi yang menggurita tak ada habisnya.

Beberapa waktu yang lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin yang merupakan salah satu anggota DPR RI terkait dengan tindak pidana korupsi. Sebagaimana diberitakan oleh (Times Indonesia, 30/08/2021), mereka tertangkap tangan oleh KPK RI dan diduga terkait dengan kasus jual beli jabatan kepala desa atau kades.

Belum reda kasus OTT KPK RI di Probolinggo, menyusul Banjarnegara menjadi sorotan media massa dan publik kita. Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono menjadi tersangka KPK dalam dugaan korupsi yang terkait dengan pengadaan barang pada Dinas PUPR Pemkab Banjarnegara tahun 2017-2018 (detiknews, 04/9/2021). Bisa dimungkinkan efek domino dari OTT KPK ini akan berdampak luas dalam pengungkapan kasus korupsi di tanah air. Fenomena ini seakan menjadi bukti dan semakin mengabsahkan akan rentannya moralitas kita sebagai anak bangsa.

Fakta tersebut untuk kesekian kalinya telah menghancurkan sendi-sendi sistem pemerintahan dan kenegaraan yang bermartabat, bebas dan bersih dari KKN yang coba dibangun oleh pemerintah saat ini. Korupsi—baik individu maupun ‘jamaah’—telah meluluhlantakkan bangunan moral (moral building) sebagian anak bangsa yang tunduk pada keserakahan nafsu pribadi dan ego sektoral. Karena dampak (impact)-nya yang demikian besar dan memiliki efek domino yang meluas, maka tidak mengherankan jika tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Di saat kondisi bangsa tengah diterpa pandemi Covid-19 dan rakyat membutuhkan uluran bantuan, segelintir orang yang telah diberi amanat justru mengkhianatinya. Mandat kekuasaan dimanfaatkan untuk memperkaya diri, keluarga dan kroni-kroninya. Tak berlebihan, seperti terujar dalam pepatah, siapa pun yang memasuki ranah kekuasaan, sesahih apa pun pribadinya, bersiap-siaplah untuk ikutan korup. Pernyataan ini tentu mengecualikan mereka yang memiliki moralitas yang kuat, teguh, dan mampu memegang amanat rakyat.

Dan benarlah kiranya statemen Lord Acton (1833-1902), seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris hidup pada abad ke-19 bahwa kekuasaan itu cenderung korup, ‘power tent to corrupt’. Korupsi seolah memiliki magnet pemikat yang luar biasa dahsyatnya, sekaligus memiliki sistem kekebalan atau imunitas terhadap gempuran nilai-nilai moral agama.

Korupsi yang melanda negeri ini—bahkan ada yang menyebutnya sudah pada tingkat stadium empat—harus menjadi musuh bersama (common enemy). Seluruh elemen bangsa harus bersatu padu melawan penyakit yang akut, laten dan telah membudaya ini. Selain menjadi bahaya laten, korupsi juga telah membuat ruang publik menjadi tercoreng karenanya. Tak ada keraguan sama sekali, korupsi harus diperangi dengan segala daya dan upaya kita bersama sebagai anak bangsa.

Salah satu upaya konkrit telah dicontohkan oleh Quraish Shihab, pendiri Pusat Studi Qur’an (PSQ) dan pakar Tafsir kenamaan Indonesia. Dalam pandangan pengarang Tafsir Al-Misbah ini, sebagaimana dilansir (Times Indonesia 31/8/2021) para koruptor itu harus dipermalukan karena telah mengkhianati amanat rakyat. Bahkan terkait nomenklatur, Quraish Shihab lebih memilih diksi “pencuri uang rakyat” daripada istilah “koruptor”. Istilah koruptor dinilai terlalu lunak dan tidak memberikan efek jera secara sosial bagi pemakan uang rakyat itu. Lebih tegas lagi ia menyatakan para koruptor itu harus dimiskinkan agar bisa merasakan kesusahan dan kesulitan rakyat kecil yang tengah dihimpit dengan berbagai persoalan kehidupan.

Oleh karena itulah mencermati kondisi bangsa yang dilanda gurita korupsi yang akut, laten, dan membudaya ini, maka diperlukan upaya-upaya yang bersifat preventif dan massif. Pertama, membangun sistem pemerintahan anti korupsi, dari pusat hingga daerah. Perlunya komitmen yang kuat dari pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui koreksi internal secara menyeluruh.

Kedua, penguatan Undang-undang tindak pidana korupsi. Misalnya, KPK mengusulkan perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). KPK mengusulkan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Tipikor. Perubahan ini diperlukan karena regulasi lama belum memuat ketentuan pemberantasan korupsi di sektor swasta, perdagangan pengaruh dan upaya memperkaya diri secara tidak sah (Jawa Pos.com, 2/12/2018).

Ketiga, penguatan lembaga KPK dan intensitas sinerginya dengan lembaga penegak hukum lainnya. Dalam hal ini pemerintah harus lebih maksimal dalam menguatkan sinergi antara KPK dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sinergi antar lembaga penegak hukum ini sebenarnya telah dilakukan Pemerintah. Menurut Mahatma Chryshna salah satunya adalah dengan menerbitkan UU 19/2019 yang bertujuan untuk meningkatkan pencegahan dan pemberantasan tindakan korupsi yang komprehensif, sinergi antarlembaga, serta tanpa mengabaikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dokumen UU Nomor 19 tahun 2019 tersebut mengatur perubahan peraturan terkait KPK (Kompas Pedia, 06/01/2021).

Keempat, pengawasan eksternal mutlak diperlukan. Masyarakat hampir tak bisa menghitung saking banyaknya berapa pejabat kita yang tertangkap OTT KPK RI hingga hari ini. Mereka yang dianggap sebagai ‘wakil Tuhan’ masih saja menyelewengkan amanat yang diberikan kepadanya. Pengawasan internal ternyata sudah sangat tidak memadai terbukti dengan banyaknya pejabat di negeri ini yang tersangkut kasus korupsi. Dengan memanfaatkan era digital saat ini, masyarakat sebagai bagian dari civil society harus memaksimalkan peran pengawasan ini sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Kelima, pidana sosial atau social shaming. Pidana ini menurut Fathorrahman Ghufron (2018) merupakan salah satu terobosan yang sangat perlu dipertimbangkan. Seseorang yang melakukan tindak kejahatan yang meresahkan seharusnya dihukum dengan cara menghibahkan dirinya sebagai pelayan kehidupan masyarakat. Semisal, pemberian sanksi kepada pelaku kejahatan melalui kerja-kerja sosial di ruang publik. Kerja sosial ini bisa berbentuk pembersihan lingkungan di areal terbuka. Juga, memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat umum berdasarkan profesi dan kompetensi yang dimiliki. Kerja sosial yang demikian, dalam konteks pidana sosial, selain memberikan kompensasi kepada masyarakat yang kehidupannya diresahkan, bisa memberikan dampak tekanan psikologis agar jera. Secara teknis, agar pelaku kejahatan patuh, pelaksanaan pidana sosial harus disertai peraturan yang sangat ketat. Bahkan, untuk mencirikan keberadaannya dengan masyarakat umum, mereka perlu diberi pakaian khusus atau penampilan pembeda agar masyarakat mengenali.

Keenam, perlunya upaya membangun kembali moralitas publik (rebuilding public morality) akan pentingnya nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan di era modern ini. Sepertinya, materi dan hal-hal yang berbau kebendaan merupakan ‘menu utama’ bagi mereka sementara moralitas, di mata para koruptor, hanya ‘numpang lewat’ saja. Oleh karena itulah nilai-nilai keduanya harus menjadi ‘mata pelajaran wajib’ dalam kehidupan yang harus ditanamkan secara kontinu dan sejak dini.

Walhasil, beberapa hal di atas merupakan upaya dan agenda prioritas dalam upaya membangun kembali sistem dan tata pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan (rebuilding good governance). Selain itu, dan tak kalah penting adalah diperlukannya high integrity dan commitment dari seluruh elemen bangsa dalam rangka memutus mata rantai gurita korupsi dan mewujudkan moralitas publik yang sehat dan bermartabat.

M. NUR FAUZI
Dosen Mata Kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam
IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi
dan Dewan Penasihat ISNU Bangorejo Banyuwangi

Comment1,048 views
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.