Tak kurang dari 22,4 KM dari Kampus Universitas Islam Negeri KH Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember, ada sebuah pondok bernama Pondok Pesantren Miftahul Ulum Suren. Pondok ini lazim disebut dengan “Pondhuk Suren” oleh masyarakat sekitar.
Suren merupakan sebuah desa yang secara administratif ditetapkan sebagai satu otoritas pemerintahan semenjak 1932. Kepala desa pertama Soerjo Hajoe Soepakmoe.
Desa seluas 193,34 KM ini memiliki penduduk sebanyak 8.624 jiwa. Di desa bentukan pemerintahan kolonial Belanda, ada seorang tokoh yang terkenal sepanjang sejarah desa, yaitu KH Ahmad Mudhar yang bernama asli Ahmad Muda’i ini.
Di Wikipedia, disebutkan bahwa Kiai Mudhar adalah pendiri Pondok Pesantren Miftahul Ulum Suren yang telah merubah tatanan sosial kemasyarakatan wilayah Jember Timur.
Seorang tokoh Partai NU generasi pertama dekade 50an yang memiliki pengaruh signifikan pada peta jalan pengembangan sumberdaya manusia terhadap masyarakat Jember.
Keberadaan Pesantren Suren adalah manifestasi dari dedikasi dan kontribusi Kiai Mudhar sepanjang hayat, sedari lahir 1904 sampai wafat 1997.
Kiai Mudhar merupakan kiai sepuh yang menghabiskan 93 tahun usianya untuk mengemban pesantren dan membina masyarakat sekitar. Usia kiai kelahiran Bluto Sumenep ini lebih panjang dari usia kalendernya.
Memang Kiai Mudhar sudah meninggal 24 tahun silam, namun namanya terasa masih hidup dalam doa, kenangan hayat dan keteladanan bagi keluarga, para santri dan alumni pesantren yang tersebar di seluruh daerah.
Kiai Mudhar dalam terma Ali Syariati dapat dimasukkan pada “ulama rausyan fikr’. Seorang kiai pemikir yang mencerahkan hati dan fikiran masyarakat. Sehingga, ajaran dan keteladanan hidupnya telah merubah ratusan ribu orang dari dulu sampai sekarang.
Jujur harus dikatakan, masyarakat wilayah Jember Timur punya perhatian pada urusan agama dan pendidikan, di dalamnya tak lepas dari rekam jejak Kiai Mudhar. Pesantren Suren yang dibidaninya, kini menjadi center of excellence dari pendidikan dan pelatihan agama sekaligus ilmu pengetahuan bagi generasi santri dari kawasan tersebut.
Wilayah Jember Timur merupakan wilayah tertinggal, pusat buta huruf dan stunting, serta kantong kemiskinan. Kehadiran pesantren sangat membantu pemerintah mengatasi masalah kesejahteraan sosial masyarkat.
Diakui atau tidak, peran serta Pesantren Suren telah melahirkan transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat sekitar. Kiai Mudhar telah merubah daerah bromocorah, tempat kriminal dan judi, menjadi daerah religius yang taat dan patuh dalam menjalankan agama.
Pesantren Suren yang berdiri pada 1952 telah membuka kawasan areal perkebunan tebu menjadi pertanian padi dan holtikultura. Masyarakat juga ikut berubah lebih maju dan terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kiai Mudhar adalah santri kesayangan KH Umar Sumberbringin yang menyadari kondisi sosial masyarakat dan merasa bertanggungjawab untuk merubah. Ini karakteristik ulama intelektual yang mengemban tugas kecendikiaan.
Pandangan Sharif Shaary bisa dielaborasi dalam konteks ulama intelektual ini. Bahwa ulama intelektual tak hanya sibuk dengan kitab dan asyik dengan ilmu, tetapi juga berfikir untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kiai Mudhar mendiversifikasi putra-putranya ke sejumlah pesantren berbeda-beda.
KH Hanafi Mudhar dipondokkan di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sumberbringin Sukowono Jember. KH Muhammad Hasan Mudhar dipondokkan di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Dan KH Mudatsir Mudhar dipondokkan di Pondok Pesantren Bata-bata Pamekasan Madura. Ragam corak pesantren putra-putranya tersebut diharapkan menjadi sintesa dari tesa dan antitesa dari pengembangan pesantren berikutnya.
Kiai Mudhar pasti punya obsesi besar terhadap desain Pesantren Suren yang menggabungkan salafisme Sumberbringin dan Bata-bata dengan khalafisme Paiton. Ternyata, dalam beberapa hal, Pesantren Suren telah mendahului dalam mengembangkan pendidikan formal.
Sebagai ilustrasi, pendidikan formal di Pesantren Suren dimulai sejak 1980. Sementara pendidikan formal di Pesantren Sumberbringin didirikan sejak 2012.
Bukan sesuatu yang mudah bagi Kiai Mudhar melakukan lompatan tradisi, merestui berdirinya pendidikan formal di Pesantren Suren yang dirintis oleh Ra Muhammad putranya bersama Nyai Nafisah. Akan tetapi, butuh keberanian demi memenuhi kebutuhan santri pasca keluar dari pesantren, baik untuk melamar pekerjaan maupun untuk melanjutkan kuliah.
Kiai Mudhar memilih jalan bagi generasi santri mendapat pendidikan agama dan umum sekaligus. Dimana waktu itu, pilihan jalan ini dianggap tak populer untuk menjaga kemurnian pesantren yang diwariskan dari generasi ke generasi yang sudah beradab-abad lamanya.
Hasil ijtihad Kiai Mudhar ternyata tepat dan benar, setelah banyak alumni Pesantren Suren melanjutkan studi di berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta, dalam maupun di luar Jember, mereka berhimpun dalam Komunitas Intelektual Suren.
Mereka adalah santri Kiai Mudhar yang percaya diri menyebut dirinya intelektual. Sesungguhnya, sebutan ini berat namun terasa ringan lantaran mewarisi laku keprihatinan hidup dan semangat belajar yang berkobar.
Para intelektual Suren mengetahui benar bahwa kuliah itu sarana dzkir, fikir dan amal sholeh. Melanjutkan sekolah itu wadah mengemban iman, ilmu dan amal. Dan, menjadi mahasiswa menjadi pemikir pejuang dan pejuang pemikir.
Mereka Intelektual Sureni yang berasal dari pelosok desa dari keluarga sederhana, hidup kekurangan dan mewah dengan idealisme. Cita-citanya hanya satu, ingin merubah nasib dirinya untuk merubah masyarakat.
Belum ada data yang pasti, berapa alumni Pesantren Suren yang sudah lulus sarjana. Yang pasti ada yang sudah sarjana S-3. Banyak di antara mereka yang menjadi guru dan dosen. Tak sedikit, sudah menjadi tokoh panutan yang dirujuk fikiran, sikap dan tindakan oleh masyarakat luas. Selamat Milad KIAS (Komunitas Intelektual Alumni Suren), semoga bermanfaat bagi umat dan bangsa. Amien!!
*Moch Eksan, Alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum Suren dan Penulis 12 Judul Buku.