Oleh Moch Eksan
Sehari sebelum pergantian tahun baru dari 2024 ke 2025, saya bersama dengan Aida Lutfiah, Dzaki Rabbani Ramadhan dan Rizqina Syawala Fitri menikmati malam di Kotatua Jakarta. Di kotatua ini, banyak gedung megah ala arsitektur Belanda. Salah satu gedung yang terlihat menonjol adalah gedung museum BNI ’46.
Gedung ini ternyata dibangun atas prakarsa Direktur Utama BNI ’46 yang pertama, Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang notabene eyang Presiden Prabowo Subianto.
Pembanguan Gedung Museum BNI ’46 merupakan bekas gedung dagang dari Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia, yang dinasionalisasi dan alihfungsi menjadi kantor bank pada 5 Juni 1946.
Margono tercatat sebagai pendiri BNI ’46 yang didesain menjadi bank sentral yang bertugas memantau sirkulasi uang. Namun, pada perkembangannya bank ini menjadi bank plat merah sendiri yang sudah go publik dengan nama PT Bank Nasional Indonesia (Persero) Tbk.
Pada 2022, BNI sebagai badan usaha milik negara yang bergerak di bidang jasa keuangan dengan 195 unit kantor cabang, 16.125 mesin ATM di seantero Indonesia. BNI juga memiliki kantor di luar negeri, seperti di New York, London, Seoul, Tokyo, Hong Kong, Singapura, Osaka, dan Amsterdam.
Barangtentu, kondisi BNI sekarang dengan nilai aset Rp 1.030 triliun, dengan nilai transaksi Rp 5.743 triliun dan dengan jumlah transaksi 878 juta kali sampai Oktober 2024, terus berkembang pesat. Hal ini tak lepas dari jasa Margono sebagai bankir pejuang yang telah memimpin BNI selama 7 tahun, sejak 1946-1953.
Ada ungkapan bijak, al-mubtadi khairun wa in ahsanal muqtadi (pendiri itu lebih baik walau yang meneruskan lebih baik). Margono adalah pendiri BNI yang lebih baik walaupun direktur utama Royke Tumilaar lebih baik kinerjanya dalam mengelola perusahaan publik beserta anak-perusahaannya.
Ungkapan ini tak bermaksud untuk mengkultuskan peran serta dan kiprah Margono dalam mengelola bank di tengah revolusi kemerdekaan. Tetapi, ungkapan ini bentuk kearifan agar bangsa ini tak melupakan jasa para pahlawan terdahulu. Betapapun kemajuan pesat BNI tak bisa menghapus jasa sang eyang Presiden.
Ada beberapa elemen masyarakat yang mengusulkan agar Margono menjadi pahlawan nasional. Usulan ini memiliki relevansi beberapa pihak yang telah mengabadikan nama RM Margono Djojohadikusumo sebagai nama gedung dan jalan.
Ada sebuah gedung di Universitas Gajah Mada yang mengabadikan nama eyang Presiden ini. Gedung ini berada di FKG UGM, di Jl Medika, Sendowo, Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281. Namanya, Gedung Margono Suradji FKB UGM.
Ada juga nama jalan di Jakarta yang mengabadikan nama eyang Presiden. Namanya Jl RM Margono Djojohadikusumo, Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia.
Pada 2016, para petinggi BNI melakukan ziarah ke Makam Keluarga Margono di Dawuhan Banyumas Jawa Tengah. Acara ini digelar dalam rangka memperingati 70 tahun BNI.
Ziarah ini untuk mengenang jasa Margono dalam membangun kedaulatan ekonomi, kedaulatan perdagangan internasional dan moneter. Selama 4 tahun, Margono membangun BNI pada waktu perang kemerdekaan melawan agresi militer Sekutu.
Baru kemudian setelah Belanda mengakui kemerdekaan sebagai hasil Perjanjian Meja Bundar pada 23 Agustus-2 November 1949, Margono harus menerima kenyataan. Bahwa BNI bukan bank sentral. Sehingga mau tidak mau, Margono harus merestrukturisasi BNI sebagai bank umum.
Sementara bank sentral yang disepakati dari hasil Perjanjian Meja Bundar, adalah De Javasche Bank. Dimana bank ini sesungguhnya bank sentral milik Hindia Belanda yang didirikan pada 1928 atas perintah Raja Willem I.
Bank sentral Hindia Belanda ini punya hak istimewa untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden. Bank yang juga digunakan sebagai sistem finansial dalam mendukung kebijakan tanam paksa. Bank warisan penjajah inilah yang bermetamorfosis menjadi Bank Indonesia (BI) pada 1 Juli 1953.
Tak bisa dibayangkan, bagaimana jiwa Margono berkecamuk dalam mengadaptasikan kepentingan idealisme para pendiri Republik dan realisme hasil perundingan para diplomat Indonesia versi Belanda.
Margono bukan semata bankir profesional yang sendiko dawuh, tapi juga bankir pejuang yang rela berkorban demi kemerdekaan ekonomi. Akhirnya dengan penuh kekecawaan, Margono menjalankan format De Javasche Bank sebagai bank sentral yang independen, dan BNI sebagai bank konvensional.
Dalam konteks patriotisme, BNI bukan sekadar perusahaan terbuka, tetapi keberadaannya membawa pesan perlawanan simbolik untuk menghapus imperialisme dan kolonialisme di bidang finansial dan moneter dari negeri asing.
Dengan sistem ekonomi terbuka dan perdagangan bebas dunia, Presiden Prabowo lebih sulit membumikan kedaulatan ekonomi, perdagangan dan moneter Indonesia. Eyang Presiden pasti mengingatkan pernyataan Presiden Soekarno berikut ini:
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Tentu yang dimaksud oleh Bung Karno bangsa Indonesia yang menjadi komprador asing yang tak punya jiwa patriotis dan menjual bangsa demi meraih keuntungan pribadi.
Prabowo sebagai cucu dari bankir pejuang, senyogyanya mengkonteksualisasikan pesan sang kakek dengan mewujudkan kedaulatan pangan dan energi dengan kebijakan swasembada dan stop importasi beras dan jagung dari negara produsen pangan dunia.
Di tempat peristirahatan terakhir, Margono pasti bangga melihat cucunya menjadi presiden tetap konsisten memperjuangkan kedaulatan ekonomi. Bahwa, ikhtiar Prabowo belum bisa memerdekakan ekonomi nasional secara total adalah wajar. Sebab, sistem ekonomi yang dianut Indonesia semasa Bung Karno berbeda dengan waktu Presiden Prabowo sekarang.
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute
BACA JUGA : https://kuasarakyat.com/keluarga-pancasila-prabowo-dan-pesan-damai-natal-bagi-rusia-dan-suriah/