Jalan Perbaikan UU Cipta Kerja

Comment1,612 views
  • Share
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo, menyampaikan tanggapan terbuka terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) paling anyar. “Sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, pemerintah menghormati dan segera melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020” kata Jokowi.

“Saya sudah memerintahkan kepada para Menko dan para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti Putusan MK itu secepat-cepatnya”, lanjut Jokowi yang didampingi oleh Mahfudz MD (Menkopolhukam), Luhut Binsar Pandjaitan (Menkomarves), Airlangga Hartarto (Menkoekuin), dan Pratikno (Mensekneg) pada Senin, 29 Nopember 2021 di Istana Negara.

Jokowi memandang, bahwa MK menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk undang-undang diberikan waktu paling lama 2 tahun untuk merevisi terhadap UU Cipta Kerja tersebut.

Pemerintah beranggapan, seluruh peraturan pelaksana UU Cipta Kerja sekarang tetap berlaku pula. Dengan demikian, seluruh materi dan substansi, dan aturan sepenuhnya pada UU Cipta Kerja tetap berlaku tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan atau dinyatakan tak berlaku oleh MK.

Oleh karena itu, Jokowi memastikan kepada pelaku usaha dan investor dalam dan luar negeri, bahwa investasi yang telah, sedang dan akan dilakukan dijamin “aman”. Komitmen ini sedari awal sudah dinyatakan oleh Jokowi untuk melanjutkan reformasi struktural, deregulasi dan debirokratisasi dalam rangka mendukung kemudahan investasi dan berusaha di Tanah Air.

RECHTSSTAAT

Sistem ketatanegaraan kita telah menempatkan MK sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan Pasal 24C Undang-undang Dasar 1945, MK berwenang salah satunya menguji UU terhadap UUD. Putusan MK terhadap yudicial review UU bersifat final dan mengikat. Sebab, proses pengadilan di MK merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Ini berarti semua Putusan MK tentang uji materi UU langsung inkracht van gewijsde (berkuatan hukum tetap). Semua ikhtiar hukum otomatis sudah tertutup. Mau tidak mau, pemerintah dan DPR harus melakukan amar Putusan MK sebagai negara yang menganut rechtsstaat (negara hukum).

Dalam konteks ini, Almagfurllah Dr KH Hasyim Muzadi, mengemukakan ironi sistem ketatanegaraan hasil amandemen UUD 1945, dimana UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR yang berjumlah 575 orang bisa dibatalkan oleh MK yang beranggotakan 9 orang. Padahal, pemerintah, DPR dan MK merupakan manifestasi Trias Politica dari Montesquieu yang membagi kekuasaan pada kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pasca amandemen UUD 1945, tiga lembaga negara di atas memiliki kedudukan yang setara. Yang membedakan adalah kewenangan masing-masing berdasarkan konstitusi. Meskipun, dalam banyak kasus uji materi UU, diwarnai disetting opinion (perbedaan pendapat) di antara 9 anggota hakim konstitusi.

Pada kasus UU Cipta Kerja, Putusan MK tidak lah bulat. Ada 4 hakim konstitusi yang berbeda pendapat dengan amar Putusan MK itu sendiri. Antara lain: Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh. Sementara, di antara 4 hakim konstitusi tersebut juga terjadi perbedaan pendapat.

Jadi, Putusan MK tentang UU Cipta Kerja diambil dengan suara terbanyak, setelah musyawarah para hakim konstitusi tak memperoleh kata mufakat, sebagaimana amanah Pasal 45 ayat (4), (5), dan (7) UU MK. Ini merupakan bukti di internal para “dewa” hukum nasional ini dalam proses pengambilan putusannya sangat lah dinamis. Pandangan dan keyakinan para hakim konstitusi sangat beragam dalam memeriksa perkara uji materi UU ini.

PUTUSAN MK

Ada 5 hakim konstitusi yang mempunyai pendapat hukum yang sama dan menjadi dasar amar Putusan MK. Mereka adalah Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Nama-nama ini lah yang berada di balik Putusan MK yang tak lazim ini. Muncul istilah inkonstitusional bersyarat dan inkonstitusional permanen dalam kasus UU Omnibus Law ini.

Padahal, Pasal 57 ayat (2) UU MK berbunyi: “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat”.

Sedangkan, salah satu amar Putusan MK berbunyi: “Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Amar Putusan MK di atas dipertegas dengan point ke-4, bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai masa rentang waktu perbaikan selesai. Dengan demikian, UU Cipta Kerja masih tetap berkekuatan hukum yang mengikat dalam 2 tahun masa perbaikan. Sehingga seluruh materi, substansi dan aturan tetap berlaku, sebab, sama sekali tak ada satu pasal pun yang dibatalkan atau dinyatakan tak berlaku oleh MK.

Mahfud MD, telah menegaskan akan menyelesaikan perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja kurang dari 2 tahun. Pakar hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menyebutkan waktu 6 bulan sudah cukup untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, baik dari segi formil maupun materiil. Memang, ini membutuhkan kerja keras untuk memperbaiki UU Cipta Kerja yang kontroversial di tengah-tengah masyarakat.

Selama masa perbaikan, pemerintah tidak dibenarkan membuat peraturan pelaksana baru sebagai penjabaran dari UU Cipta Kerja, serta diminta untuk menangguhkan atau menunda berbagai keputusan penting dan strategis yang berdampak luas pada masyarakat. Amar putusan point ke-7 ini yang tak dijabarkan secara detail oleh pemerintah sebagai respon untuk menjamin kepastian hukum satu sisi dan kemudahan investasi dan usaha sisi lain.

LOKOMOTIF EKONOMI

Sejatinya, UU Cipta Kerja yang setebal 1187 halaman ini dimaksud untuk menjadi lokomotif ekonomi nasional. Pemerintah berkomitmen untuk mendorong percepatan pembangunan nasional dengan memotong berbagai hambatan dan rintangan struktur, regulasi dan birokrasi dengan omnibus law.

Omnibus law itu berasal dari Bahasa Latin yang berarti hukum yang mengatur semua hal atau banyak hal. Omnibus Law merupakan sebuah konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang secara substansial berbeda, menjadi satu peraturan dan satu payung hukum.

Oleh karena itu, pada Pasal 4 UU Cipta Kerja dikemukakan ruang lingkup yang meliputi: pertama, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, kedua, ketenagakerjaan, ketiga, kemudahan, perlindungan serta pemberdayaan koperasi dan UMKM, keempat, kemudahan berusaha, kelima, dukungan riset dan inovasi, keenam, pengadaan tanah, ketujuh, kawasan ekonomi, kedelapan, investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional, kesembilan, pelaksanaan administrasi pemerintahan, dan kesepuluh, pengenaan sanksi.

Begitu luasnya ruang lingkup UU Cipta Kerja berimplikasi secara yuridis dan tehnis terhadap regulasi dan pelaksanaan urusan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan bahkan pemerintah desa. Banyak pasal di berbagai UU yang dirubah atau dihapus. Semua bertujuan untuk penyederhanaan struktur, regulasi dan birokrasi untuk menopang misi Jokowi menyerap tenaga kerja seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

UU Cipta Kerja merupakan bentuk respon pemerintah untuk melakukan penyesuaian regulatif dan tehnis dalam rangka memberikan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM. Disamping, UU Cipta Kerha ini diniatkan untuk peningkatan ekosistem investasi, percepatan proyek strategis nasional serta peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Niat tulus ini banyak disalahpahami oleh para pihak, wabilkhusus kaum buruh di Tanah Air.

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), menyatakan bahwa Putusan MK tentang UU Cipta Kerja sesuai dengan kehendak buruh yang menolak keras penerapan UU Cipta Kerja yang dinilai tak ramah terhadap buruh. Bahkan, ia menyatakan, Putusan MK ini merupakan kemenangan kaum buruh dalam menghegemoni kekuasaan yang dikendalikan oleh para pedagang atau pemilik modal di DPR maupun para menteri Jokowi.

Iqbal lupa, Putusan ambigu MK merupakan jalan tengah kehendak pembuatan UU dan keinginan publik. Bahwasannya MK hanya menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UUD 1945. Sementara, tak ada satu pun pasal yang dibatalkan. MK menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai masa waktu perbaikan selesai.

Akan tetapi, MK memerintahkan pembuat UU untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja selambat-lambatnya dalam waktu 2 tahun, agar sesuai dengan UUD 1945. Bila tidak, UU Cipta Kerja akan dinyatakan inkonstitusional permanen, serta UU, pasal dan aturan yang dirubah oleh UU Cipat Kerja akan langsung berlaku efektif kembali.

Alhasil, sesungguhnya Putusan MK memenangkan semua pihak yang berhadapan-hadapan secara diametral. Pemerintah tetap dapat melaksanakan ketentuan yang ada di dalam UU Cipta Kerja, dan publik juga dapat berpartisipasi dalam melakukan perbaikan secara formil maupun materiil UU Cipta Kerja tersebut.

*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Writer: Moch Eksan
Comment1,612 views
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.