Presiden O8, Sang Penakluk Sejarah Presidensial

Comment280 views
  • Share

Oleh Moch Eksan

Pasca Indonesia Merdeka, bangsa ini telah dipimpinan oleh 8 presiden. Dan, Prabowo adalah presiden yang paling senior dalam meraih kekuasaan. Ia mulai menjabat pada usia 73 tahun.

Sementara presiden yang lain, mulai berkuasa di antara kepala empat sampai kepala enam. Bung Karno menjadi presiden pada usia 44 tahun. Pak Harto pada usia 45 tahun. BJ Habibie pada usia 61 tahun. Gus Dur pada usia 59 tahun. Megawati pada usia 54 tahun. SBY pada usia 55 tahun. Dan Jokowi menjadi presiden pada usia 53 tahun.

Para presiden sebelum Prabowo raih kekuasaan nyaris tanpa perjuangan elektoral yang panjang. Hanya SBY dan Jokowi yang melalui perjuangan elektoral. Tetapi presiden asal Pacitan dan Solo ini langsung terpilih tanpa kekalahan menyedihkan.

Bung Karno, Pak Harto dan Gus Dur tak ada niat untuk menjadi pemimpin, tapi tiba-tiba kondisi politik memaksa yang bersangkutan tampil sebagai presiden atas proyeksi sejarah.

BJ Habibie dan Megawati jadi presiden lantaran sebagai wakil presiden yang menggantikan posisi presiden yang mundur dan diberhentikan oleh MPR sebagimana ketentuan UUD 1945.

Prabowo punya rekam jejak elektoral yang sangat panjang. Ia ikut bertarung dalam pemilu presiden sebanyak empat kali. Tiga kali kalah dan satu kali menang.

Pertama, pada Pilpres 2009. Prabowo maju bersama Megawati. Pasangan ini dicalonkan oleh PDIP dan Gerindra. Pada waktu itu, ada tiga pasangan calon presiden, selain Megawati-Prabowo, ada pasangan JK-Wiranto yang diusung oleh Partai Golkar-Hanura. Dan SBY-Budiono yang diusung oleh Partai Demokrat, PKB, PKS, dan PAN.

Kedua, pada Pilpres 2014, Prabowo maju bersama dengan Hatta Radjasa. Pasangan ini dicalonkan oleh Gerindra, PAN, Golkar dan PKS. Waktu itu, pasangan ini berhadapan dengan Jokowi-JK yang diusung oleh PDIP, PKB dan NasDem.

Ketiga, pada Pilpres 2019, Prabowo maju bersama dengan Sandiaga Solahuddin Uno. Pasangan ini dicalonkan oleh Gerindra, PAN, dan PKS. Waktu itu, pasangan ini berhadapan dengan Jokowi-Ma’ruf Amien yang dicalonkan oleh PDIP, Golkar, PKB, NasDem, dan PPP.

Ada juga pengalaman Prabowo gagal dalam Konvensi Presiden Partai Golkar pada 2004. Ini awal, ia mendeklarasikan diri sebagai kandidat calon presiden tetapi gagal di putaran pertama konvensi. Dan yang lolos pada putaran kedua adalah Akbar Tandjung dan Wiranto sebagai kandidat calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua.

Wiranto yang memenangkan konvensi atas Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI Periode 1999-2004. Sehingga Mantan Panglima ABRI ini yang diusung Partai Golkar berpasangan dengan KH Ir Salahuddin Wahid, adik kandung Gus Dur.

Pada Pilpres 2004, ada 5 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang maju. Secara berurutan sebagai berikut:

1. Wiranto- Salahuddin Wahid diusung oleh Partai Golkar, PDK, Patriot dan PPNU.
2. Megawati Soekarno Putri- Hasyim Muzadi yang diusung oleh PDIP dan PDS.
3. Amien Rais- Siswono Yudo Husodo yang diusung oleh PAN, PKS, PBR, PNBK, PPDI, PNIM, Serikat, dan Buruh.
4. Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla diusung oleh Partai Demokrat, PBB dan PKPI
5. Hamzah Haz- Agum Gumelar yang diusung oleh PPP.

Sangat jelas, nama Prabowo tak ada pada Surat Suara Pilpres 2004. Yang ada 5 pasangan calon presiden dan wakil presiden di atas.

Karena tak ada satupun pasangan calon yang memperoleh suara 50 persen lebih, maka pilpres berlangsung dua putaran. Yang lolos pada putaran kedua adalah pasangan Mega-Hasyim dan SBY-JK sebagai peraih suara terbanyak kesatu dan kedua.

Sejarah pilpres mencatat, Pasangan SBY-JK yang memenangkan pilpres putaran kedua pada Rabu, 20 September 2004, dengan 69,2 juta suara (60,62 persen). Sementara, Pasangan Mega-Hasyim memperoleh suara 44,9 juta (39,3 persen).

Jadi, Pilpres 2004 menjadi seleksi alam bagi para jenderal politisi yang bertarung merebut jabatan presiden. Yang lolos SBY yang dijuluki the thinking general (jenderal pemikir). Sedangkan Wiranto dan Agum Gumelar terjungkal pada pilpres putaran pertama yang dilaksanakan pada Rabu, 5 Juli 2004.

Prabowo malah tak bisa masuk pada gelanggang pertarungan, lantaran kalah pada putaran pertama konvensi Presiden Partai Golkar dengan suara paling kecil dibandingkan dengan Akbar Tandjung, Wiranto, Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh. Mantan Pangkostrad ini hanya memperoleh 39 suara dari peserta konvensi yang berasal dari para pengurus Partai Golkar mulai DPP sampai dengan DPD II.

Prabowo pada Pilpres 2004 itu, tak menjadi juru kampanye siapa pun, hatta koleganya di militer. Apalagi, Wiranto, Agum Gumelar dan SBY adalah perwira tinggi Mabes TNI yang terlibat proses pemecatan dirinya melalui Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Atas rekomendasi mereka inilah, ia diberhentikan dari dinas militer pada 24 Agustus 1998, oleh Presiden BJ Habibie.

Memang, 4 jenderal politisi Orde Baru ini, merupakan perwira tinggi TNI yang beken dan tetap berada di orbit kekuasaan sampai sekarang. Tentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Pertama, Agum Gumelar adalah atasan langsung Prabowo di Kapassus. Mertua Wakil Menteri Pemuda dan Olah Raga, Taufik Hidayat ini, termasuk salah satu tokoh yang dikaguminya di militer. Agum ini jenderal politisi yang paling awal menggantungkan sarung tinju. Terutama setelah berturut-turun kalah dalam pertarungan elektoral Pilpres dan Pilgub Jabar pada 2008.

Agum sebenarnya pernah mau berlaga di Pilgub DKI pada 2007, namun gagal mendapatkan rekom partai, sehingga tak bisa maju. Baru kemudian di Pilgub Jabar pada 2008, ia berpasangan dengan Nu’man sebagai calon gubenur dan wakil gubenur yang diusung oleh PDIP dan PPP.

Tapi nampaknya, pertaruhan nasib Agum di dunia politik tak sebaik di dunia militer, ia kalah atas Heryawan-Dede Yusuf yang diusung oleh PKS dan PAN. Disinilah titik awal, ia tinggalkan ring politik dan merubah haluan pada dunia olah raga dan organisasi sosial dari para veteran dan ex militer.

Kedua, Wiranto adalah jenderal politisi yang paling paripurna. Ia memiliki karier militer yang paling mentok. Ia sampai pada posisi Panglima TNI dengan pangkat jenderal penuh. Mantan ajudan Presiden Soeharto ini pernah bertarung 2 kali di pilpres.

Pada Pilpres 2004, ia maju menjadi calon presiden dengan perolehan 26,2 juta suara. Perolehan suara ini berada pada peringkat ketiga di bawah SBY-JK dan Mega-Hasyim.

Pada Pilpres 2009, Wiranto menjadi calon wakil presiden JK yang diusung oleh Partai Golkar dan Hanura dengan memperoleh 15 juta suara. Perolehan suara ini berada pada peringkat ketiga, di bawah suara SBY-Budiono dan Mega-Prabowo.

Rupanya, pasca kekalahan pada Pilpres 2009, Wiranto menarik diri dari gelanggang pertarungan, dan berkonsentrasi untuk membesarkan Hanura. Lagi-lagi, nasibnya di dunia politik tak sebaik di dunia militer. Hanura partai yang dibidani hanya bertahan di 2 kali Pileg. Yaitu pada 2009, Hanura memperoleh 3,9 juta dengan 17 kursi DPR RI. Sedangkan, pada Pileg 2014, Hanura memperoleh 6,5 juta suara dengan 16 kursi DPR RI.

Setelah Hanura diambil alih oleh Oetsman Sapta Odang pada 21 Desember 2016, Hanura berturut-turut gagal lolos parliamentary Threshold 4 persen hasil pemilu nasional, baik pada Pileg 2019 maupun 2024. Sehingga, pada 10 tahun terakhir tak memiliki perwakilan di DPR RI.

Posisi Wiranto di pemerintahan sebagai Menko Polhukam dan Ketua Watimpres di era Presiden Jokowi, tak berhubungan dengan Hanura sebagai partai pendukung pasangan calon presiden. Akan tetapi, lebih karena dukungan Wiranto secara pribadi kepada Jokowi pada dua kali pilpres.

Selama 4 kali pilpres, Wiranto tak pernah satu barisan dengan Prabowo. Malah, ia merupakan rival Prabowo pada Konvensi Presiden Partai Golkar dan Pipres 2009. Setidaknya, ia menjadi pendukung pasangan calon yang bersaing dengan Prabowo.

Baru Wiranto mendukung Prabowo pada Pilpres 2024. Setelah hubungan buruk Wiranto-Prabowo mencair di paruh kedua kepemimpinan Jokowi. Dimana, Prabowo masuk menjadi Menteri Pertahanan. Dan Wiranto sebagai Ketua Wantimpres.

Jokowilah pasti yang telah berperan merekatkan hubungan Wiranto dan Prabowo yang retak lantaran konflik internal militer pada era transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Sesama anak buah Jokowi, Wiranto dan Prabowo bisa melupakan kesalahpahaman dalam menangangi stabilitas keamanan nasional yang nyaris mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa di masa lalu.

Ketiga, SBY adalah jenderal politisi yang paling sukses di awal transisi politik militer pada supremasi sipil. Ia presiden pertama hasil pilihan langsung rakyat. Dua periode berturut-turut, menantu Jenderal Sarwo Edhie ini mengalahkan presiden incumbent dan para seniornya di militer.

Pada Pilpres 2004, SBY bertarung dua kali putaran. Putaran pertama diikuti oleh 5 pasangan calon. Dan putaran kedua dikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pada setiap putaran SBY selalu unggul dalam perolehan suara.

Yang menarik, kesuksesan SBY meraih jabatan presiden diawali dengan keberhasilan Partai Demokrat mendapatkan kursi di DPR RI. Sebab waktu itu, pileg dilaksanakan secara terpisah dari lilpres. Pileg diselenggarakan lebih awal daripada pilpres.

Pada Pileg 2004, Demokrat memperoleh suara 8,4 juta dengan 57 kursi DPR RI. Pada Pileg 2009, Demokrat naik pesat dengan perolehan 21,7 juta suara atau 148 kursi DPR RI.

Namun kemenangan Demokrat pada 2009 belum bisa diulang kembali sampai sekarang, sekalipun oleh Presiden SBY sendiri saat menggantikan Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum pada 30 Maret 2013. Justru, pada Pileg 2014, perolehan suara Demokrat melorot jauh dan tersisa hanya 12,7 juta suara atau 61 kursi dari 148 kursi DPR RI di periode sebelumnya.

Di tangan dingin SBY, Demokrat kehilangan golden decade. Perolehan Demokrat terus menurun pada Pileg 2019. Sahabat seangkatan Prabowo di Akmil Magelang ini, ternyata tak kuat menahan trend penurunan Demokrat. Sehingga Demokrat memperoleh 10,8 juta atau 54 kursi DPR RI.

Akhirnya, SBY lengser dari Ketua Umum Demokrat pada 15 Maret 2020, dan posisinya dilanjutkan oleh putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono. Putranya ternyata setali tiga uang dengan sang ayah, belum bisa menghentikan trend penurunan suara Demokrat.

Terbukti, Demokrat pada Pileg 2024, banyak kehilangan suara dan kursi. Perolehaannya hanya tersisa sebanyak 11,2 juta suara atau 44 kursi DPR RI. Sekarang, posisi Demokrat di parlemen berada pada peringkat paling buncit.

Trend penurunan Demokrat sedikit terobati dengan masuknya AHY sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) di akhir jabatan Jokowi. Ini setelah Demokrat mendukung Prabowo-Gibran dan pecah kongsi dengan Anies Rasyid Baswedan yang lebih memilih Cak Imin dan PKB sebagai Koalisi Perubahan bersama Partai NasDem dan PKS.

Sesungguhnya, Demokrat telah mengusung Prabowo-Sandi sejak Pilpres 2019. Koalisi Indonesia Adil Makmur didukung oleh Gerindra, PKS, PAN, Demokrat dan Berkarya.

Sayangnya, Prabowo sebagai pimpinan partai oposisi justru memilih bergabung dengan Jokowi dan meninggalkan PKS dan Demokrat. Ia beralasan untuk mengakhiri polarisasi politik pasca pilpres yang membahayakan integrasi bangsa.

Jadi, hubungan Prabowo dan SBY lebih dahulu cair daripada jenderal politisi lainnya. Mereka berdua disatukan oleh kesamaan nasib sebagai partai oposisi pemerintahan Jokowi di periode pertama masa jabatannya.

Akan tetapi, pada akhirnya Gerindra dan Demokrat sama-sama menjadi Jokowi. Sekarang juga sama. Semua kekuatan politik yang ada pada ujungnya menjadi Prabowo sebagai pemenang pilpres yang paling gemilang.

Prabowo ini memang jenderal politik yang benar-benar petarung sejati. Ia menyebut dirinya pendekar yang siap mati. Dalam perjuangan membutuhkan strategi dan taktik yang kadang ke kanan, kadang ke kiri, kadang maju, dan kadung juga mundur.

Mundur kata Prabowo bukan berarti menyerah. Tetapi mundur untuk menyusun langkah menyerang maju kembali. Menurut Prabowo, bagi pendekar tak ada kata menyerah selama hayat masih di kandung badan. Maju terus pantang mundur, seperti bait lagu Maju Tak Gentar.

Maju tak gentar

Membela yang benar

Maju tak gentar

Hak kita diserang

Maju serentak

Mengusir penyerang

Maju serentak

Tentu kita menang

Bergerak, bergerak

Serentak, serentak

Menerkam menerjang terjang

Tak gentar, tak gentar

Menyerang, menyerang

Majulah majulah menang

Lagu ciptaan Cornel Simandjuntak di atas untuk menggambarkan semangat bertempur Prabowo bak api yang tak kunjung padam. Petarung sejati bukanlah orang yang tak pernah jatuh, akan tetapi orang yang terus bangkit, bangkit dan bangkit lagi.

Semua orang pasti heran, betapa stamina bertarung Prabowo sangat panjang dan kuat. Kekalahan 4 kali pilpres tak membuatnya berhenti mencalonkan diri. Tak seperti Agum dan Wiranto tak mencalonkan diri lagi setelah 2 kali kalah.

Kendati kalah, trend suara Prabowo memang terus meningkat dari pemilu ke pemilu. Puncaknya, saat Prabowo memenangkan Pilpres 2024. Ia dapat mengalahkan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dengan selisih suara yang sangat tebal.

Dan yang mendapatkan coattail effect dari pencalonan Prabowo adalah Gerindra yang trend suaranya meningkat terus. Ia telah memberikan berkah elektoral bagi kebesaran dan kemajuan Gerindra.

Kini, Gerindra telah memiliki 86 dari 580 kursi DPR RI, 323 dari 2.372 kursi DPRD Propinsi, dan 2.120 dari 17.510 kursi DPRD Kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Di tangan Prabowo sejak 20 September 2014 sepeninggalnya Suhardi sebagai Ketua Umum, Gerindra merupakan fraksi yang selalu berada di peringkat ketiga besar kursi DPR RI pada tiga periode keanggotaan. Hanya di periode 2009-2014, DPR RI Gerindra menempati posisi 8 besar partai parlemen.

Beda halnya dengan SBY setelah merebut Demokrat dari Anas Urbaningrum sebagai ketua umum, justru posisi fraksi Demokrat di DPR RI menurun terus dari peringkat 3 menjadi 6 besar partai parlemen. Ini bisa dilihat komposisi anggota DPR RI periode 2014-2019 dan 2019-2024.

Prabowo-SBY merupakan dua Jenderal politisi yang punya success strory dalam menaklukan sejarah presidensial di Indonesia. Namun, SBY lebih awal berkuasa. Dan Prabowo baru bisa meraih jabatan presiden setelah 10 tahun SBY lengser keprabon.

Dua sejawat di TNI ini juga sama-sama memimpin partai secara langsung day to day.Tapi, Prabowo lebih kuat dan kokoh daripada SBY sebagai ketua umum. Keduanya mengambil kepemimpinan partai pada tahun berurutan.

SBY mengambil Demokrat pada 2013 dari Anas yang mengundurkan diri lantaran kasus tindak pidana korupsi di KPK. Sedangkan, Prabowo mengambil Gerindra pada 2014 dari Suhadi yang meninggal dunia lantaran penyakit kanker paru-paru yang diidap sudah lama.

Yang paling unik dari Prabowo, bargaining position dirinya lebih tinggi daripada Gerindra. Partai Golkar yang lebih besar dari Gerindra dua kali mengusung Prabowo sebagai calon presiden tanpa posisi sebagai wakil presiden. Dua Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Airlangga Hartarto memilih realitis dengan tak mencalonkan kader sendiri, mengingat elektabilitas ketua umumnya lebih rendah dari partainya.

Prabowo ini betul-betul sang penakluk sejarah presidensial. Bagaimana tidak, Golkar yang telah mendepak Prabowo dalam Konvensi Presiden Partai Beringin, justru memberikan golden tiket calon presiden kepada Prabowo tanpa melalui negosiasi dan kompensasi jabatan dan finansial yang rumit.

Barangkali itu bentuk apresiasi Golkar atas kegigihan dan ketangguhan Prabowo berjuang untuk meraih kekuasaan. Publik menaruh harapan agar mantu Presiden Seoharto ini dapat memimpin Indonesia.

Selain, itu merupakan bentuk terima kasih keluarga besar Golkar kepada Soeharto yang telah membesarkan dan dibesarkan partai selama 32 tahun berkuasa. Prabowo adalah titisan Soeharto yang telah menjalankan prinsip kepemimpinan ala Jawa.

Salah satunya, ngluruk tanpo bolo dan menang tanpo ngesorake (menyerang tanpa balatentara dan menang tanpa merendahkan).
Rupanya filosofi kepemimpinan Soeharto ini yang diterapkan dalam membangun koalisi dengan Golkar. Prabowo mendapat dukungan Golkar tanpa mobilisas pengurus dan simpatisan partai, serta surat rekomendasi tanpa syarat politik gizi.

Sekelumit relasi kuasa antara Prabowo dan Golkar di atas, juga berlaku dengan PAN yang selalu mendukung sebagai calon presiden sejak 2014 sampai dengan 2024. Semula Prabowo dipasangkan dengan Ketua Umum PAN, Hatta Radjasa yang masih besan SBY, pada Pilpres 2014.

Namun, pada Pilpres 2019, PAN mendukung Prabowo tanpa konsesi jabatan wakil presiden. Sebab, Prabowo-Sandi merupakan pasangan Gerindra-Gerindra.Tapi PAN tetap all out bersama partai koalisi lain memenangkan Prabowo-Sandi.

Pada Pilpres 2024, PAN bersama koalisi pemerintah Jokowi memasangkan Probowo-Gibran. Semua partai koalisi pemerintah minus PDIP dan NasDem, bersepakat mengusung Menhan dan Walikota Solo sebagai presiden dan wakil presiden.

Sekalipun pencalonan Gibran ini melalui akrobat hukum dari MK yang melonggarkan batas usia minimal capres dengan pengalaman sebagai kepala daerah. Gibran semula tak memenuhi syarat kemudian memenuhi syarat dengan menambah klausul pengalaman sebagai kepada daerah.

Keputusan MK telah membuka politik dinasti Jokowi melalui pencalonan Gibran yang kontroversial. Kasus ini menjadi biang kerok dari berbagai gugatan atas cawe-cawe Jokowi dalam Pilpres 2024.

Jokowi melanggengkan kekuasaan bukan dengan perpanjangan masa jabatan presiden, bukan pula dengan wacana presiden tiga periode, akan tetapi melalui Gibran sebagai wakil presiden dari Prabowo. Seorang yang diyakini bisa menjamin keselamatan dan keamanan dinasti politik Jokowi di Republik ini.

Prabowo di mata Jokowi adalah pribadi yang setiakawan, nasionalis dan punya sportifitas yang tinggi, layaknya kesan Mahfud terhadap sosok Prabowo yang lugu dan apa adanya dalam politik. Ini yang membuat “Raja Jawa” yakin Gibran akan diasuh oleh Prabowo dengan ketulusan hati sebagai pemimpin muda Indonesia masa depan.

Pada saat Jokowi merestui pasangan Prabowo-Gibran, seketika itu pula, Jokowi telah takluk terhadap keperkasaan politik Prabowo. Sehingga, keluarga Presiden ke-7 berani melawan keputusan Mega dan PDIP yang telah membesarkannya di panggung politik nasional.

Berpisah jalan dengan keluarga Teuku Umar, sesungguhnya pilihan berat bagi Jokowi sekeluarga yang banyak mendapatkan privilege dari PDIP. Namun, ini ongkos yang harus dibayar demi berkoalisi dengan Prabowo yang telah dikalahkan dua kali pilpres.

Kelihatannya, Jokowi harus membayar hutang pada Prabowo yang telah ikut mendukung pasangan Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2013. Prabowo ikut bertempur memenangkan pasangan gubernur dan wakil gubernur Jakarta ini. Prabowo turut turun gunung berkampanye demi Ibu Kota Negara Indonesia yang lebih baik.

Sekarang, Prabowo telah menuai buah kebajikan yang dilakukannya untuk Jokowi, baik pada saat memberi merekomendasi sebagai calon gubernur Jakarta maupun pada waktu membantu kabinet Jokowi sebagai menteri pertahanan.

Bagi Prabowo taklah gambang menerima tawaran Jokowi sebagai pembantunya. Pasti, batin Prabowo bergejolak dan para pendukungnya berontak. Sekilas, ia terkesan lebih memilih kekuasaan daripada mendampingi perjuangan para pendukungnya yang berdarah-darah pada dua kali pilpres.

Namun demi integrasi nasional, maka polarisasi pendukung cebong dan kampret di masyarakat akar rumput harus dihentikan. Prabowo terpaksa menaklukkan diri dan mengesampingkan segala amarah dan kekecewaan kepada Jokowi yang telah mempecundanginya.

Ternyata benar, keputusan Prabowo menerima panggilan negara membantu Jokowi di bidang pertahanan. Malahan Jokowi bukan hanya memberi kesempatan untuk berkarya demi Ibu Pertiwi. Tetapi sekaligus merehabilitasi nama baiknya di dunia militer. Ia dianugerahi kenaikan pangkat jenderal kehormatan yang ditunggu sedari zaman Gus Dur.

Jadi, di tangan Presiden BJ Habibie karir militer Prabowo berhenti di pangkat Letjen. Sebaliknya, di tangan Presiden Jokowi, Prabowo justru mendapatkan Jenderal Kehormatan. Dengan demikian, kontroversi perihal sepak terjang Prabowo dianggap telah usai. Pemerintah mengakui dedikasi dan kontribusinya terhadap perkembangan dan kemajuan militer serta pertahanan di Tanah Air.

Atas berbagai prestasi tersebut, Prabowo nyata-nyata berhasil menaklukkan Jokowi dan institusi militer. Mereka dengan sukarela menghapus segala beban dosa masa lalu, sekaligus meratakan jalan bagi Prabowo tampil sebagai presiden.

Memang, keberhasilan Prabowo memperoleh mayoritas dukungan rakyat pada pilpres, adalah hasil perjuangan panjang. Sebuah perjuangan yang menggunakan strategi dan taktik penguasaan secara berjenjang dan berlahan-lahan.

Dimulai dari penguasaan diri, dukungan para jenderal politisi, usulan pimpinan partai, restu Jokowi, back up dari institusi militer sampai penguasaan rakyat pemilih. Mereka percaya Presiden 08, sang penakluk presidensial ini, bakal membawa Indonesia lebih maju dan sejahtera.

Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku “Kerikil Dibalik Sepatu Anies.

Comment280 views
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.