Santri Milenial: Potret Insan Multitalenta Serba Bisa

Comment1,534 views
  • Share

Only history will be able to judge”.

Penggalan kalimat ini pernah dipopulerkan oleh Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid sewaktu beliau diundang untuk mempresentasikan makalah di Jerman pada tahun 1970-an. Ketika itu Gus Dur—panggilan akrabnya—mengenalkan dunia ‘pesantren’ pada masyarakat Eropa yang telah memasuki era modern beberapa abad sebelumnya.

Mungkin kita bertanya-tanya, untuk apa Gus Dur mengangkat topik tentang pesantren. Jawaban itu ternyata kini terjawab. Dunia pesantren menjadi ‘magnet’ terbesar di abad ini.

Pesantren yang pada awalnya dirintis oleh para Walisongo di tanah Nusantara ini mampu bertahan dari gempuran dan gerusan roda zaman yang berputar demikian cepatnya. Pesantren mampu beradaptasi dengan dunia modern yang membawa nilai-nilai dan budaya/kultur yang sama sekali berbeda dengan dunia pesantren.

Mengapa demikian? Jawabannya sederhana sekali. Pesantren berpijak pada kaidah ‘sakti’ yang berbunyi ‘al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhz bi al-jadid al-aslah’. Maksudnya, di satu sisi, pesantren tetap berpegang pada pendapat, pemikiran, dan premis-premis serta kesimpulan yang telah dirumuskan oleh para ulama klasik kita yang salih. Sementara di sisi lain, pesantren sangat adaptif, fleksibel, dan ‘welcome’ terhadap temuan-temuan baru atau inovatif dari berbagai peradaban dan budaya lain yang tercipta.

Kembali pada statemen Gus Dur di atas. Di era milenial saat ini pesantren sama sekali tidak ‘gaptek’ terhadap perkembangan IT yang begitu dahsyat melanda dunia. Malah sebaliknya, pesantren mampu memanfaatkan kecanggihan IT tersebut untuk mendakwahkan nilai-nilai dan ajaran di pesantren kepada masyarakat luas.

Para santri milenial sangat menikmati anugerah maraknya ‘medsos’ dengan berbagai kreasi yang dimilikinya untuk dipersembahkan pada dunia. Santri milenial menjadi ‘pahlawan pesantren’ untuk mempublikasikan kreasi dan inovasi mereka yang selama ini tidak diketahui oleh komunitas global dunia. Santri milenial menjadi ‘duta pesantren’ dalam rangka unjuk kemampuan mereka yang multitalenta dan serba bisa.

Bukanlah sebuah kebohongan atau omong kosong belaka jika santri memang memiliki kemampuan multitalenta di dalam dirinya. Sebaliknya, merupakan fakta yang tak terbantahkan, santri mampu mewarnai negeri ini dengan beragam prestasi.

Untuk menyebut beberapa santri di era modern yang mewarnai dan mampu membuat perubahan adalah misalnya K.H. Abdurrahman Wahid (1940-2009), K.H. Sahal Mahfudh (1937-2014), K.H. Ma’ruf Amin (1943-…), K.H. Ahmad Mustofa Bisri (1944-…), K.H. Said Aqil Siroj (1953-…) dan lain-lainnya. Mereka adalah para pioner santri yang mampu menjadi motor penggerak perubahan di masyarakat dan negara.

K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disebut oleh beberapa kalangan sebagai prototypesantri par excellence’. Melekat pada diri beliau beragam panggilan misalnya mulai dari budayawan, politikus ulung kelas wahid, demokrat sejati, pembela kalangan tertindas dan minoritas, hingga tentu saja ‘kiai nyentrik’ dengan segala kecerdasannya. Masyarakat Indonesia dan dunia menjadi saksi jika pada akhirnya ‘santri par excellence’ ini menjadi orang nomor satu atau ‘wahid’ di republik ini. Presiden Republik Indonesia ke-4.

K.H. Ma’ruf Amin pun tidak ketinggalan dengan capaian dari Gus Dur tersebut. Perjalanan hidup beliau penuh warna dan talenta dengan beragam posisi dan jabatan yang pernah disandangnya. Mulai dari Ketua Dewan Syuro PKB (1998), Anggota DPR RI (1999-2004) dan MPR RI (1997-1999), Ketua Harian Dewan Syariah Nasional MUI (2004-2010), Ketua Umum MUI (2015-2020), dan Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (2020-sekarang) hingga menjadi Wakil Presiden RI saat ini.

Santri berikutnya yang menjadi motor penggerak perubahan di masyarakat adalah K.H. Sahal Mahfudh. Kiai Sahal pernah diamanahi beberapa jabatan penting misalnya Ketua MUI (2000-2014), dan Rais Am Syuriyah PBNU (1999-2014). Pada tahun 2003, Kiai Sahal memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, karena kepakarannya dalam ilmu fiqh dan keberhasilannya dalam upaya pengembangan pesantren dan masyarakat. Karena kealiman dan kepakarannya itu, Kiai Sahal dikenal sebagai ahli fiqih abad modern (mujadid haza al-‘ashr). Anugerah gelar Doktor Honoris Causa tersebut juga karena kontribusi nyata dan aksi sosialnya yang membawa perubahan di masyarakat dan menjadi percontohan di berbagai wilayah di tanah air. Kiai Sahal meninggal pada 24 Januari 2014.

Tak kalah popular dengan santri-santri di atas adalah K.H. Ahmad Mustofa Bisri dari Rembang, Jawa Tengah. Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin ini dikenal sebagai seorang Kiai, dan budayawan. Goresan dan coretan penanya yang tajam dan memukau mampu menarik para seniman dan budayawan untuk menggerakkan nilai-nilai dan semangat budaya keindonesiaan yang berkebinnekaan ini, dilirik lagi oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Keberpihakannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan tak perlu diragukan. Semangat dan spirit keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan menyatu dalam setiap tulisan dan gerak tarikan napas jiwanya. Kalam beliau yang seringkali diulang-ulangnya dalam setiap ceramah dan mau’izah hasanah adalah ‘jadilah manusia yang memanusiakan manusia’ menjadi bukti kearifan dan kealimannya sebagai seorang santri yang memahami hakikat menjadi manusia Indonesia. Tak berlebihan pula jika UIN Walisongo menganugerahinya dengan gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) sebagai bukti dari kiprahnya tersebut dalam menggerakkan perubahan di Indonesia.

Santri yang terakhir ini seringkali mendapat hujatan dan kecaman dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan pendapat, pemikiran, dan aksinya baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Beliau adalah K.H. Said Aqil Siroj (1953- …), pengasuh Pondok Pesanren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan. Kiai yang merupakan penggagas konsep ‘Islam Nusantara’ pada Muktamar NU ke-33 di Jombang ini adalah yang paling getol menggerakkan berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di berbagai daerah di Indonesia. Menurutnya santri harus mampu berperan di segala lini kehidupan sesuai dengan porsi dan kapasitasnya masing-masing. Sudah saatnya ‘kaum santri’ ber/diberi peran mengelola, merawat, dan menjaga NKRI yang kini tengah berupaya bangkit dari keterpurukannya akibat hegemoni Orde Baru selama 32 tahun. Kiai yang mendapat anugerah Doktor Honoris Causa (DR HC) dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini merupakan lulusan Universitas Ummul Qura Makkah di bidang keilmuan tasawuf.

Dari kalangan santri yang masih muda pun muncul ke permukaan ruang publik kita. Mereka adalah K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau yang dikenal dengan Gus Baha’ dari Narukan Rembang dan K.H. Miftah Maulana Habiburrahman atau yang populer di kalangan milenial dengan Gus Miftah dari Yogyakarta. Keduanya merupakan idola dan panutan para santri milenial dalam mendakwahkan Islam yang ramah, toleran, moderat, dan rahmatan lil ‘alamin.

Potret beberapa Kiai yang disuguhkan tersebut adalah para santri yang memiliki beragam talenta dalam diri mereka masing-masing. Dalam sosok seorang ‘santri’ terpadu beragam ‘multitalenta serba bisa’ yang sangat berguna bagi pengembangan wawasan dunia pesantren yang tak hanya kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), tetapi juga melimpah ruah dengan pengetahuan lokal (local knowledge).

Di sinilah pentingnya peran santri seiring berubahnya zaman. Seorang santri harus peka dan mampu mengaktualisasikan pesan-pesan hermeneutis setiap zaman yang terus berubah. Dengan kata lain, seorang santri harus mampu menangkap dan memaknai spirit atau ruh zamannya. Seperti yang ditekankan oleh K.H. Maimun Zubair, “yanbaghi li al-‘aqil an yakuna hafizan lilisanihi ‘arifan bi zamanihi muqbilan ‘ala sya’nihi”. Maksudnya adalah bahwasanya seorang yang berakal—dalam hal ini santri milenial—hendaklah menjadi pribadi yang menjaga lisannya, mengetahui perkembangan zamannya dan menunaikan tugas-tugasnya.

Santri milenial adalah insan multitalenta yang mampu dan bisa menangkap semangat zamannya. Semangatnya tak pernah lekang oleh sang waktu yang terus berjalan menuju progresifitas dan kemajuan zaman yang kian tak terbendung. Mungkin inilah salah satu dari sekian makna dan arti yang terkandung dari penggalan kalimat K.H. Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil, sang ‘santri par excellence’ tersebut di atas.

MOH NUR FAUZI
Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam
Prodi Manajemen Pendidikan Islam
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi

 

Writer: Moh Nur Fauzi
Comment1,534 views
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.