Beberapa bulan terakhir, Republik Indonesia diwarnai oleh kegaduhan rasialisme. Ini dipicu oleh pernyataan segelintir elite bangsa yang menyentil perasaan suku tertentu. Mereka merasa direndahkan dan dihina. Padahal, menjadi suku tertentu bukan pilihan opsional akan tetapi bawaan lahir yang altruistik harus diterima.
Pernyataan KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman yang menyinggung orang Arab. Pernyataan Anggota DPR RI PDIP Arteria Dahlan yang melukai orang Sunda. Dan, pernyataan Caleg PKS Edi Mulyadi yang mendiskreditkan orang Kalimantan. Semua pernyataan tersebut sangat tendensius untuk “merendahkan” salah satu suku bangsa Indonesia.
Presiden Jokowi dalam banyak kesempatan menyebutkan bahwa berdasarkan Data BPS 2010, di Indonesia terdapat 1340 suku bangsa. Mereka telah menghuni bumi Nusantara secara turun-temurun. Mereka sudah bersepakat bertanah-air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu: Indonesia.
Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, meletakkan setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Kesamaan ini membuat kesetaraan suku, agama, ras dan adat istiadat dalam memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban sebagai sesama warga negara.
Dalam konteks kebhinekaan dan peraturan perundang-undangan, tak ada satupun suku bangsa yang lebih tinggi dan lebih rendah dalam bingkai Keindonesiaan. Semua punya peluang dan kesempatan yang sama dalam pembangunan. Namun, prinsip dasar ini acapkali terkoyak oleh oknum penyelenggara negara yang memiliki pandangan, sikap dan tindakan yang rasialis.
Sejarah telah membuktikan bahwa rasialisme menjadi mesin pembunuh kemanusiaan. Fasis Adolf Hitler telah menyulut perang dunia yang menyebabkan 76 juta jiwa tewas. Politik aparthaid Afrika Selatan yang memisahkan secara hukum warna kulit yang memicu pemberontakan massal. Kekerasan rasial di Amerika Serikat yang seringkali menimbulkan pemberontakan rakyat. Konflik suku di Sambas yang menewaskan 1.189 orang, membakar 3.833 rumah, dan 29.823 mengungsi.
Berbagai data di atas, semestinya lebih dari cukup untuk mengingatkan para elite bangsa untuk tak bermain-main dengan rasialisme. Sebab, rasialisme ini sangat sensitif. Apalagi, bangsa ini sangat plural yang memerlukan sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Tanpa orang Arab, Sunda dan Kalimantan, Indonesia tak bakal ada. Mereka ikut memilki saham bagi tegak dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI). Salah satu portofolio dapat dibaca dari:
Pertama, di antara anak keturunan Arab yang diakui oleh negara berjasa besar bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Mereka itu, antara lain: Tengku Imam Bonjol, Raden Sholeh, Abdurrahman Baswedan dan lain sebagainya. Mereka termasuk di antara 195 pahlawan nasional yang berjasa dalam perang fisik melawan penjajah.
Kedua, suku Sunda memiliki bahasa dan budaya sendiri. Mereka tinggal di Pulau Jawa Bagian Barat. Mayoritas tinggal di Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Mereka kurang lebih berjumlah 45 juta orang. Suku ini memiliki civic culture yang lama semenjak Kerajaan Salakanegara, Tarumanegara, Galuh dan Kerajaan Sunda itu sendiri. Kerajaan di Tepi Sungai Citarum ini merupakan otoritas pemerintah pertama di Indonesia yang berdiri pada 358 Masehi.
Ketiga, Kalimantan atau biasa juga disebut dengan Pulau Borneo merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Di pulau ini berdiri Kerajaan Kutai Kartanegara pada 400 M. Sebuah kerajaan di Tepi Sungai Mahakam yang menjadi jalurnya transportasi orang dan perdagangan dunia. Transaksi perdagangan emas hitam di Mahakam menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2006-2016, mencapai US$ 27,062 miliar atau Rp 365,2 triliun.
Dari berbagai uraian di atas, tampak orang Arab, Sunda dan Kalimantan memiliki sumbangsih yang nyata bagi keberlangsungan dan kelanjutan NKRI. Bahkan sumbangsih tersebut sangat besar bagi perkembangan dan kemajuan Indonesia sedari dulu sampai sekarang.
Seorang yang menafikan peran serta tiga suku bangsa tersebut, sungguh sangat kontraproduktif bagi ikhtiar seluruh anak bangsa dalam bahu-membahu merawat keindonesiaan. Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini, dikecilkan oleh narasi rasialis. Mereka anak bangsa yang tak tahu sejarah dan tak mau tahu terhadap perjalanan budaya bernegara di Indonesia yang telah berlangsung 17 abad.
Akhirnya sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan pernyataan Gus Dur, sang Bapak Pluralisme Indonesia, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti memperhitungkan dan menistakan penciptanya”.
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute